Kamis, 30 Juli 2009

MAKALAH : FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM & BARAT

Oleh : Drs. BAHRUNY DP ( Guru PAI SMA PGRI 4 Banjarmasin )

A. PENDAHULUAN

Pelaksanaan pendidikan secara umum dan pendidikan keagamaan secara khusus bertujuan untuk membimbing, mengarahkan, melatih, membiasakan, hingga mendewasakan manusia secara fisik dan psikis, jasmani dan rohani meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik, atau membentuk kecerdasan intelegensi (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan Spiritual (SQ).
Upaya sadar dalam pelaksanaan pendidikan terutama pendidikan keagamaan sangat penting ditanamkan sejak dini kepada anak manusia, bahkan sebelum manusia dilahirkan seharusnya upaya penanaman nilai pendidikan terutama pendidikan keagamaan itu mulai dilaksanakan. Dalam teori pendidikan dikenal dengan sebutan ’Pendidikan Pranatal” atau pendidikan dan pembiasaan sebelum kelahiran anak.
Dalam upaya penanaman nilai-nilai pendidikan, khususnya pendidikan keagamaan tersebut, dalam makalah ini penulis mencoba mengangkat sebuah permasalahan pendidikan keberagamaan anak dengan tema Mendidik Keberagamaan Anak Menurut YB. Mangun Wijaya. Isi makalah ini merupakan sebuah ringkasan atau saduran dengan pendekatan kutipan langsung dan tidak langsung dari sebuh buku Beliau berjudul Menumbuhkan Sikap Relegius Anak-Anak.
Sebagai gambaran isi poko sesuai tema pembahasan makalah ini, Selain bagian pendahuluan, Riwayat Singkat YB. Mangun Wijaya dan bagian penutup, maka pada bagian pembahasan berisi tentang; Pemaknaan istilah keagamnaan dan relegiusitas dengan berbagai urgensinya, Aneka potensi kejiwaan yang dimiliki Anak-Anak, Perlunya suasana dialog dan komuniaksi edukatif terhadap anak, Konsep membina pencitraan Tuhan dengan beberapa konotasi kepada anak-anak, cara pemanduan hati nurani anak-anak, serta Anak menjadi kesatria terhadap Tuhan dan sesama manusia hingga diharapkan menjadi hamba Tuhan sejati.

B. MENDIDIK KEBERAGAMAAN ANAK MENURUT Y.B. MANGUNWIJAYA
1. Riwayat Singkat Y.B. Mangunwijaya
Nama lengkapnya Yusuf Bilyarta Mangunwijaya. Lahir 6 Maret 1929 di Ambarawa, Jateng, Ia anak sulung dari dua belas bersaudara. Ayahnya bernama Yulianus Sumadi, ibunya Serafin Kamdaniyah, beragama Katolik.
Riwayat Pendidikannya di HIS Fransiscus Xaverius Magelang (1936 -- 1943). Di STM Jetis, Yogyakarta (1943 -- 1947), SMU-B Santo Albertus, Malang (1948 -- 1951). Pendidikan Seminari Menengah Kotabaru, Yogyakarta, kemudian ke Seminari Menengah Santo Petrus Kanisius di Mertoyudan, Magelang.
Semasa sekolahnya, Mangunwijaya sudah ikut dalam gerakan kemerdekaan bergabung dalam Batalyon X Divisi III sebagai prajurit TKR. Juga turut pertempuran di Ambarawa, Magelang, dan Mranggen. Ia juga pernah sebagai sopir pendamping Panglima Perang Sri Sultan Hamengkubuwono IX memeriksa pasukan. Pernah menjabat komandan Tentara Pelajar saat Agresi Militer Belanda I pada Kompi Kedu.
Uskup Soegijapranata, SJ. yang juga tokoh Nasional. Uskup agung pribumi pertama di Indonesia menahbiskan Romo Mangun sebagai imam, Ia melanjutkan pendidikannya di Teknik Arsitektur ITB. Th 1959 dari ITB, ia berstudinya di universitasdi Rheinisch Westfaelische Technische Hochschule, Aachen, Jerman pada 1960-1966.
Ia menghasilkan beragam arsitektural nuansa baru di Indonesia sehingga dijuluki bapak arsitektur modern Indonesia. Ia banyak merancang bangunan gedung, kawasan pemukiman warga pinggiran. Ia juga sosio-politis memihak rakyat kecil, berbagai julukan predikat kepada belaiau seperti; Penulis, Arsitektur, Budayawan, Pendidik, Humanis, Sastrawan, Bapa Gereja, dsb.
Tahun 1986, pembelaannya kepada nasib penduduk Kedungombo menyebabkan Presiden Soeharto menuduhnya sebagai komunis berkedok rohaniawan. Ia dituduh melakukan kristenisasi kepada para santri. Beliau meninggal pada tgl 10 Februari 1999 di Jakarta, karena serangan jantung.
2. Pemaknaan Istilah Agama dan Relegiusitas
Relegiousitas tidak identik sama dengan keagamaan, idealnya orang yang beragama juga religious, tetapi kebanyakannya tidak ideal seperti itu. Banyak manusia agamawan dengan sebab dan motif tertentu, berarti ia bukan manusia religious.
Menurut Mangunwijaya, Agama lebih menunjukkan kepada kelemba gaan kebaktian kepada Tuhan atau kepada Dunia Atas dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya, serta keseluruhan organisasi tafsir kitab-kitab keramat dan sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan.
Sedangkan Relegiusitas lebih melihat kepada aspek yang dilubuk hati, riak getaran hati nurani peribadi, sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena manafaskan intimitas jiwa, cita rasa yang mencakup totalitas rasio dan rasa manusiawinya, kedalaman si peribadi manusia.
Agama bertugas agar kehidupan masyarakat manusia teratur dan pengabdi Allah secara terarah dalam aturan dan hukum-hukum. Pada tingkat religiousitas bukanlah peraturan atau hukum-hukum yang berbicara, tetapi keikhlasan, kesukarelaan, dan kepasrahan kepada Tuhan. Relegiousitas hanya dapat dihayati dari dalam, sulit diukur dari luar. Yang terpenting adalah kualitas, bukan kuantitas, lain rupa tetapi isi dan esensi.
Realitas dalam kehidupan manusia, lahiriyahnya beragama tetapi batinnya tidak. Batinnya beragama tetapi lahiriyahnya tidak. Ada juga lahir dan batinnya tidak beragama dan religious. Yang paripurna adalah lahir dan batinnya beragama dan religious.
Menurut Mangunwijaya bahwa Manusia, agama, dan relegiusitas adalah bagaikan kembang dengan daun kelopak bunga bermadu serta sari bunga yang mengndung kelezatan kehidupan. Tuhan menilai manusia bukan atas fakta memeluk agama secara formal, tetapi adalah kualitas relegiusitas mamsing-masing individu.

3. Potensi Jiwa dan Sikap Religius yang Dimiliki Anak-Anak
Dalam buku Menumbuhkan Sikap Relegius Anak-Anak oleh Mangunwijaya, beliau tidak memberi batasan usia dan definisi secara teori psikologis tentang kategori Anak-Anak. Nampaknya beliau memaknai tentang Anak-Anak sesuai proses perkembangan dan pertumbuhannya secara alamiah.
Yang jelas menurut Mangunwijaya bahwa, Benih-benih potensi dan bakat pada anak dan pengaruh lingkungan menyeluruh membentuk watak perilaku dan pertumbuhan ; kesehatan, kepandaian, minat, budaya, tenggang rasa, sifat menolong, pemaaf, jiwa religious, takjub cinta mencari Tuhan dalam diri anak.
Pertumbuhan anak secara fisik dan mental sangat memerlukan sentuhan langsung ibunya, lingkungan, kepastian, dialog, komunikasi, dan pengembangan bakat anak. Tidak ada sesuatu di dalam diri anak yang datang secara otomatis dengan begitu saja, baik kepandaian, kemahiran, berhias, sopan santun, cita rasa religious dsb.
Demikian pula potensi bakat religious anak sangat memerlukan panduan dan bimbingan. Konon kasus pada masa Kaisar Barbarasa dan peristiwa perang Vietnam. Yang menjadi inti permasalahan kasus tersebut adalah fenomena potensi jiwa anak kaitannya dengan aturan ketentuan yang dipaksakan oleh Kaisar serta pengaruh lingkungan (anak korban perang Vietnam) terhadap dampak akhir pertumbuahn dan perkembangan pembentukan watak relegius anak yang gagal, bahkan tumbuh abnormal.
Terpenting bagi anak-anak kita yaitu dididik pada aspek keagamaan dan aspek relegiousitas, yang esensinya dua aspek tapi satu, satu tapi dua secara normal. Yang diharapkan adalah agar mereka dapat tumbuh menjadi abdi-abdi Allah, umat beragama yang baik, cita rasa relegiosnya , kejujuran dan kedamian yang mendalam.
Nilai keagamaan dan Relegiousitas diberikan kepada anak dalam bentuk konkrit dalam sikap-sikap menghargai kehidupan, memuliakan manusia dsb. Mangun Wijaya menghendaki bahwa pengembangan anak yang menjadi milik Tuhan dengan segala keindahan dan keunikan anak, untuk itu dicapai melalui pengembangan wawasan yang akan menampilkan Tuhan yang menjadi milik anak. Cita rasa religious adalah mencari kualitas, ini bermula dari kerahiman ibunda anak, bahwa esensi wanita (ibu dari anak) adalah pada rahim dan sikap serta cita rasanua terhadap suami dan anak-anaknya. Kerahiman ibu salah satu lambang relegiousitas yang menumbuhkembangkan kehidupan anak.
Anak yang merasa dihargai, dan memrerlukan perhatian sejak dini, berproses Relegiousitas harus dirangsang pada masa pembenihan, pembibitan janin. Pemeliharaan dan penjagaan kandungan perlu dihargai dan dihormati. Kebersamaman penghargaan dalam diri kedua orangtua si anak. Pemeliharaan dan persiapan peroses kelahiran. Penerimaan, penyambutan saat kelahiran. Kemampuan bertatanggung jawab atas hal-hal keseharian. Menjadi kanak-kanak, anak-anak, remaja, dewasa, tuan dan seterusnya.
Pendidikan, pembinanan anak bermula dari kedua orang tuanya, walinya dsb Orang tua tidak perlu bergaya Kiyai atau pendeta didepan anak-anaknya. Orang tua cukuplah hidup secara wajar, sehat, seibang jasmani dan rohani. Pendidikan religious anak dimulai dgn menghargai, tanggung jawab sehari-hari . Anak memiliki daya rekam, radar, antena sangat peka meski ia tidak sadari. Orang tua, kerabat terdekatnya berhati-hati bersikap, anak merekam relialitas lingkungannya, orang tuanya secara intuitif.
Anak punya kemampuan untuk kagum dan bertanya terhadap lingkunganya. Pendidikan relegious anak tidak berbentuk pengajaran, tetapi peragaan hidup atau keteladanan. Anak tidak belajar berdasarkan kurikulum, tetapi secara meniru-niru, menyesuaikan , mengintegrasikan diri kedalam suasana. Bagi anak ulah meniru-niru meskipun ia belum menyadari maksudnya, tetapi mereka sudah merupakan penghayatan hidupnya. Anak selalu belajar dengan menghayati sesuatu yang ada diluar dirinya. Anak cendrung akan berlakon seperti yang ia lihat dilingkungan luar dirinya. Anak memiliki rasa kagum, rasa haru, mengidentifikasi diri selaku realitas. anak bertanya, melihat, mendengar, dalam penghayatan, dan berekspresi.
Pembudayaan Budi Hati atau berhati mulia terhadap anak-anak. Anak mencari makna, ia sadar atau tidak sadar dibalik apa yang ia lihat. Jiwa relegious tidak akan berminat ingin merusak dalam arti fisik dan spiritual. Manusia relegious pasti bercita rasa pemeliharaan, dan gemar memperindah. Hanya jiwa yang suka kemuliaan dapat mempermudah pembentukan hati nurani yang benar serta relegious.

4. Perlunya Dialog dan Komuniaksi Edukatif

Menurut Romo Mangunwijaya bahwa, Sangat penting adanya dialog, komunikasi yang tidak putus terhadap anak, dalam arti selalu dijalin secara terus menerus. Kerangka dasar pendidikan sikap relegious anak-anak adalah kerangka suasana kepercayaan dalam dialog orang tua dengan si anak. Pendiidikan relegious anak mengharuskan selalu dijalin komunikasi intensif dengan berbagai bentuk, sifat, dan variasi antara orang tua, orang-orang terdekat anak. Hubungan dialog dan komunikasi itu serius harus dipertahankan dan ditingkatkan oleh orang tua, karena ini mutlak menentukan jalan atau tidaknya pendidikan relegious terhadap anak.
Orang tua harus toleran menerima dan merespon secara cermat bijaksanan terhadap aneka bentuk, sifat, pola obrolan, khayal, bualan, cerita, keluahan, kesenangan , dsb. Yang paling penting juga disini ialah Si anak agar selalu diyakinkan bahwa keberadaan dia penting, bahwa percakapan dan omongannya selalu diperhatikan. Orang tua supaya lebih terbuka dan berupaya agar si anak juga termotivasi terbuka dari berbagai permasalahannya untuk didialokan kepada orang tua.
Bagi si anak harus belajar bahwa bolehlah ia punya rahasia terhadap orang lain, tetapi terhadap orang tua tidak malu, diusahakan bersifat terbuka, termasuk dalam hal ketuhanan, agama, moral dan relegiousitas, dsb. Orang tua sepatutnya berbangga jika anak telah mencapai usia puber selalu dapat berdialog dan bekomunikasi dengan terbuka dalam berbagai persoalannya. Yang terpenting diupayakan agar anak terbiasa berdialog, berkomunikasi secara terbuka terhadap keluarga terdekatnya yang pada akhirnya memung kinkan membuka hati untuk berdialog langsung dengan Tuhannya.
Dialog Penghayatan bersama dan dialog kata, dalam hal ini berkaitan dengan cara dan bentuk dialog terutama kaitannya dengan relegiusitas anak. Dialog disini dalam arti secara totalitet meliputi percakapan, berbicara, sikap, perilaku hidup secara total, mengajak dsb. Sesuai dgn perkembangan anak. Dialog bukanlah khotbah, ceramah dsb. Akan tetapi penghantaran iman yang alami, penyampaian keyakinan secara sepontan, penguatan sendi-sendi moral yang sederhana melalui perkara-perkara yang biasa dan sehari-hari. Melalui keteladanan dan pelaksanaan kehidupan yang riil, si anak harus mengalami, betapa satu tunggal dunia religious dan dunia sehari-hari. Dialog bukan instruksi atau perintah. Perintah yang bersifat keharusan punya tempat sendiri, dan memang sering anak mendapat perintah, tetapi harus selalu diimbangi dengan dialog dan komunikasi yang benar.
Bahaya Perkemabangan Relegius bagi anak yang tidak mendapat dialok Sejas kecil Anak yang tidak mendapat kesempatan dialog sejak kecil dan terpaksa segala galanya harus difikir dan diurus sendiri dan dicari penyelesai annya sendiri, anak malang semacam ini akan membatu, tertutup, dan bakat relegiusnyapun tertindas lalu bakat itu pergi menghilang. Si anak terlalu pagi mendapat beban pertanyaan hidup dan konflik batin sendirian, ia lekas kering, layu, dan hancur pada usia terlalu muda.
Dialog Melalui Imajinasi dunia indah. Anak-anak memiliki dunia imajinasi sebagai sarana dialog, berbeda dengan orang dewasa, ini mutlak diperlukan dapat diterjemahkan melalui pelambangan puisi, musik, lagu, drama, cerita, permainan, dan lain yang cocok dengan dunia anak-anak.

5. Konsep Pembinaan Pencitraan Tuhan
Mangunwijaya sangat menekankan kepada orang tua atau guru pendidik bahwa dalam mengenalkan Tuhan atau Membina Pencitraan Tuhan yang benar kepada anak dengan beberapa predikat Tuhan sebagai berikut Tuhan itu bukan mandor, polisi, atau jaksa. Ini berarti Tuhan bukan pencari kesalahan orang dengan cara menakut-nakuiti, diancam, ditangkap, karena berperkara, diadili kemudian diberi hukuman yang setimpal. Disini harus dihindari pencitraan Tuhan dengan hal-hal yang ngeri, sadis, menakutkan, hantu, iblis, syaitan, neraka dsb. Tetapi pencitraan bahwa Tuhan adalah pencari kabaikan, kedamaian, dan kasih Sayang terhadap si anak atau manusia. Disini Orang tua harus menjadi sinar citra Tuhan yang Masha pemurah dan penyayang, yang lebih suka mencari dan memuji kebaikan dan keberhasilan anak dari pada kesalahan, kekurangan dan kegagalan anak yang kemudia di salahkan, dihukum dsb.
Tuhan bukan maharaja sewenang-wenang. Berarti Tuhan bukan pemimpin diktator sewenang-wenang memperbudak rakyatnya (manusia), karena memiliki super kekuatan sehingga manusia serba lemah, tidak berdaya dan selalu diperbudak. Tetapi disini orang tua hendaknya mengenalkan Tuhan kepada abak harus dengan serba Kebaikan Tuhan, Mahapenyayang, Maharahman, Mahamelindungi, Mahabijaksana, Mahapelindung, dsb. Dengan demikian anak lebih mudah dan sejuk memahami dan menerima keberadaan Tuhan tanpa rasa terpaksa atau dibuat-buat.
Tuhan bukan pedagang yang serakah. Ini berarti Tuhan bukanlah sosok bisnismen selalu mencari keuntungan, selalu menghitung modal, jasa, dan laba, selalu bekerja dulu kemudian baru dapat hasil. Tetapi dalam hal ini Orang tua hendaknya sejak dini anak harus ditanamkan dan dididik agar jangan bersikap dagang terhadap Tuhan. Misalnya anak setiap berbuat kebaikan, amal, ibadah dan sebagainya tidak selalu hanya ingin mendapatkan pahala dari Tuhan, mendapat pujian dan sanjungan dari manusia. Disini juga terkandung anjuran dan pembiasaan kepada anak agar selalu berdoa kemudian berbuat kebajikan dengan ikhlas tanpa pamrih.
Tuhan bukan Pemimpin partai atau golongan. Ini bermakna bahwa Tuhan tidak mengutamakan simpatisan secara kuantitas seperti layaknya pemimpin partai atau golongan, sebab kemenangan dan kejayaan sudah pasti di tangan Tuhan, tetapi yang mulia adalah simpatisan yang berkualitas. Dengan demikian hendaklah anak-anak kita latih untuk menghargai dan mengutamakan kualitas dari pada kuantitas. Relegiusitas anak ditanamkan mengakar dalam keyakinan peribadi, bukan keyakinan yang liar dan keropos atau karena ikut-ikutan. Anak-anak juga diajak agar tidak bersikap panatik, diajak toleran, diajak selalu menuju kedamaian, kerukunan, dan kegembiraan batin yang benar-benar abadi.
Tuhan bukan tukang sulap dan hipnotis agung. Maksudnya kita janganlah mendidik anak-anak untuk menganggap Tuhan sebagai tukang sulap agung, penyihir dan berbagai fenomena mistik, misalnya dianggap sebagai penyembuh ajaib. Tuhan pengasih dan penyayang kepada semua manusia, Tuhan tidak bersifat memanjakan orang yang hanya suka jalan pintas karena kemalasannya. Kita berupaya untuk menjauhkan anak dari pengaruh mental tahayul, sihir, magis, guna-guna, dsb. Memang satu sisi anak-anak senang pada dongeng-dongeng dan lakon-lakon pastastis, untuk ini diarahkan kepada dongeng yang sehat pada intinya berfungsi menggugah daya imajinasi anak yang bernuansa relegiusitas. Kita harus waspada terhadap berbagai dongeng anak-anak melalui berbagai media bersifat komersial tidak bernilai pendidikan.
Menurut Mangunwijaya, orang tua perlu menyadari bahwa, citra tentang Tuhan dapat diterima anak datang dari orang yang ia percayai. Kita harus memurnikan pencitraan atau pengenalan keberadaan Tuhan kepada anak misalnya dengan cara mengusahakan agar kita selalu cinta kepada kebenaran, kejujuran. Juga terpenting adalah relegiusitas memerlukan kepekaan terhadap pelambangan dan cita rasa puisi, maksudnya semua benda dan peristiwa yang kita jumpai bagi jiwa relegius selalu mengandung daya lambang bermakna.
6. Hati Nurani Anak Perlu Dipandu.
Menurut bahasa Mangunwijaya bahwa ‘Hati Nurani adalah cita rasa yang secara menyeluruh dengan nalar fikiran maupun dengan intuisi dan perasaan tumbuh dalam lubuk hati. Untuk pengembangan hati nurani anak perlu dipandu oleh orang tua, misalnya penanaman nilai keimanan, penciptaan suasana kondusip dan kegembiraan, pemberian kepercayaan kepada anak untuk belajar mengolah keperibadiannya, anak dididik belajar bertanggung jawab, mendidik tanpa kekerasan, ditumbuhkan sikap kesatria kepada anak-anak, pembiasaan ibadah, doa-doa, dan kegiatan relegius lainnya agar anak terbentuk menjadi kesatria diahadapan Tuhan dan manusia sehingga anak kelak menjadi milik Tuhan.

C. PENUTUP

Berdasarkan pemahaman penulis tentang konsep Pendidikan Keberaga maan Anak menurut Y.B. Mangunwijaya tersebut di atas, maka penulis mencoba menyimpulkan bahwa; yang terpenting dalam upaya penanaman dan pembentukan relegiusitas anak pada dasarnya melalui proses tahap demi tahap, yaitu sedini mungkin sejak sebelum kelahiran anak, ia harus selalu mendapat perhatian dengan bentuk pembiasaan dengan nilai-nilai keagamaan. Setelah kelahiran diharapkan selalu dalam sentuhan orang tua terutama Ibunya dalam arti orang tua yang memiliki sikap relegiusitas yang baik, kemudian masa kanak-kanan menuju remaja hingga dewasa, dalam kurun waktu tersebut. Menurut Mangun, ada berbagai cara dan pendekatan secara riil yang dapat dilakukan orang tua secara bijaksana untuk menyentuh cita rasa anak, yaitu orang tua agar mencermati potensi jiwa dan bakat anak, selalu menjalin dialog dan komunikasi serta contoh-contoh yang baik, cara-cara mengenalkan (pencitraan) Tuhan kepada anak memandu perkembangan hati nurani anak, dan sebagainya.
Sebaliknya orang tua sedapat mungkin menghindari hal-hal yang terlalu bersipat normatif, hukum-hukum formal, pemaksaan, kekerasan, tahyul, magis, sihir, dongeng yang tidak mendidik, dan sebagainya. Kenalkanlah Citra Tuhan melalui semua sifat kesempurnaan-Nya kepada anak, (demikian menurut Romo Mangun).

DAFTAR PUSTAKA


Y.B. Mangunwijaya, Menumbuhkan Sikap Religius Anak-Anak, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia Ed.II, Balai Pustaka, Jakarta, 1995,

Wekapedia Indonesia, Riwayat Hidup Singkat Y.B. Mangunwijaya, wikipedia.org.id (20/6/2009)

Wikipedia Indonesia, Riwayat Pendidikan, Buku, dan Tulisan Y.B. Mangunwijaya, wikipedia.org.id (20/6/2009)








=== bdp ===

Tidak ada komentar:

Posting Komentar