Rabu, 01 Juli 2009

MAKALAH ; ULUMUL HADITS

HADITS PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW

Oleh : BAHRUNY DP

Bab I PENDAHULUAN

Hadits disebut juga Sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Rasulullah SAW., baik berupa perketaan, perbuatan, atau taqrir beliau. Hadits sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur'an. Sejarah perjalanan hadits tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri. Keberadaan al-Hadits merupakan realitas dari ajaran Islam. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam al-Quran. Al-Hadits, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Quran itu sendiri. Hadits Nabi telah ada sejak awal perkembangan Islam dan suatu kenyataan yang tak dapat diragukan lagi.
Kendati demikian, keberadaan al-Hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah saw maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Sementara perhatian terhadap al-Hadits tidaklah demikian. Upaya kodifikasi al-Hadits secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101H, yang waktunya relatif jauh dari masa Rasulullah saw. Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi perihal otentisitas al-Hadits itu sendiri.
Dari kalangan orientalis seperti; Joseph Schacht dan Goldziher dalam bukunya Muhammedanische Studien telah memastikan diri untuk mengingkari adanya pemeliharaan Hadits pada masa Sahabat sampai awal abad II H. Juga beberapa penulis muslim kontemporer seperti halnya Ahmad Amin dan Isma'il Ad'ham berke simpulan bahwa al-Hadits sebagai sumber hukum Islam tidak otentik karena baru ditulis satu abad setelah Rasulullah wafat, dalam hal ini adalah tidak tepat. Tuduhan ini menurut Dr. M. Mustafa Azami lebih disebabkan karena kurangnya ketelitian mereka dalam melacak sumber-sumber yang berkaitan dengan kegiatan penulisan Hadits.
[1]
Mencermati uraian di atas, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang eksestensi Sunnah atau Hadits Pada Masa Rasulullah Saw. masih hidup serta beberapa permasalahannya sekitar Penghafalan, Penulisan, dan Penguasaan Sunnah oleh para Sahabat Rasulullah Saw. pada saat itu.

Bab II SUNNAH ATAU HADITS PADA MASA RASULULLAH SAW

A. Otentisitas Pengumpulan Sunnah Pada Masa Rasulullah SAW
Pada zaman Rasulullah Saw, para sahabat dan kaum muslimin telah me ngetahui keberadaan Sunnah atau hadits dan posisinya dalam syariah sebagai pedoman bagi mereka, mereka selalu menjaga, menyampaikan dari sebagian kepada bagian lainnya. Nabi SAW pun selalu memotivasi para sahabat dengan sabda Beliau “Allah akan mengelokkan seseorang yang mendengar ucapan-ucapanku kemudian ia memelihara dan menyampaikan sebagaimana yang ia dengarkan, boleh jadi orang yang menyampaikan lebih mengerti dari orang yang mendengar” 2
Para sahabat bersandar kepada hapalan, mereka memiliki daya ingatan yang sangat kuat, mereka mewariskan riwayat-riwayat seperti syi’ir dan lainnya melalui hapalan. Saat itu sedikit sekali tradisi menulis di kalangan mereka. Oleh karena itu pada awalnya Nabi Saw. Melarang mereka (sahabat) untuk menulis selain ayat al-Quran sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri, tujuannya adalah demi menjaga kemurnian Al-Qur’an agar tidak bercampur dengan yang lainnya, juga factor lain seperti sedikitnya sahabat yang bias manulis serta paktor sarana dan alat tulis menulis yang sulit diperoleh. Saat itu pada dasarnya mengerahkan segenap perhatian kepada penulisan al-Quran, dan banyak riwayat lain tentang larangan tersebut.
Kemudian secara khusus Rasulullah Saw. Mengizinkan kepada Sahabat tertentu untuk menulis hadits, seperti ; Abdullah bin Amar bin Ash menulis lembaran-lem barannya ( Ash-Shadiqah ), demikian pula Abu Syah ( dari Yaman). Bahkan Rasulullah Saw. sendiri menulis lembaran yang bvanyak, diantaranya dikenal Al-Watsiqoh berisi tentang 1.ketentuan-ketentuan hubungan antara penduduk Madinah dari Kaum Anshar dan Kaum Muhajirin dengan orang-orang Yahudi yang ikut perjanjian dengan mereka. 2.juga surat-surat Nabi Saw kepada Kisra- Kisra dan lainnya. 3. Juga berisi uraian tentang sedekah, diyat, faraidh, dan sunnah lainnya khusus ditulis Nabi Saw untuk Amru bin Hazam 3.
[2]
Abu Bakar Ash-Shiddiq juga menulis sunnah untuk Anas bin Malik tentang kewajiban-kewajiban sedekah, Umar bin Khattab menulis sunnah untuk Utbah bin Faraqah, bahkan tulisan pada sarung pedang beliau. Ali bin Abi Thalib menulis lembaran-lembaran yang memuat penjelasan tentang hukum-hukum. Demikian seterusnya sehingga “para sahabat bersepakat untuk membolehkan penulisan Hadits pada masa Rasulullah Saw tersebut sebagaimana diriwayatkan Aisyah Ra., Abu Hurairah., Ibnu Umar, dan lainnya” 4
Di luar adanya rekaman hadits dalam bentuk hafalan yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah saw, ada beberapa peristiwa yang berhubungan dengan Rasulullah, yang dirasa perlu dicatat, terekam pula dalam bentuk catatan sahabat. Tentang adanya pencatatan ini Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Abu Hurairah sebagai berikut: Dari Abu Hurairah ra beliau berkata; tidak ada seorang dari sahabat Nabi yang lebih banyak meriwayatkan hadits dariku selain Abdullah bin Amr bin Ash, karena sesungguhnya dia mencatat hadits sedangkan aku tidak. Shahih Bukhari Juz I (Kitabul Ilm): hal. 32. hadits tersebut diriwayatkan juga oleh al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi Juz V,: hal. 39) 5
Tentang penulisan al-Hadits oleh Abdullah bin Amr ini, diriwayatkan bahwa beliau menulis al-Hadits dengan sepengetahuan Rasulullah saw, bahkan Rasulullah saw memerintahkannya sebagimana riwayat dari Ibnu Amr berikut: Dari Abdullah bin Amr beliau berkata: ?Saya menulis setiap yang saya dengar dari Rasulullah saw untuk saya hafalkan, maka orang-orang Quraiys mencegahku dengan berkata; ?apakah kamu menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah saw ? Sedangkan Rasulullah saw adalah manusia yang kadang-kadang berbicara dalam keadaan marah dan kadang-kadang dalam keadaan ramah?, maka akupun menghentikan penulisan itu, dan mengadukannya pada Rasululah saw, maka sambil menunjuk mulutnya beliau bersabda, ?Tulislah! Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak keluar darinya (maksudnya lisan Rasulullah) kecuali yang hak (Sunan Abi Dawud Juz III, hal. 318, Musnad Ahmad Juz II, hal. 162) 6
Catatan Hadits dari Abdullah bin Amr inilah yang beliau namai dengan al-Shahifah al-Shadiqah. Beliau sangat menghargai tulisan ini sebagaimana pernyataannya: Tidak ada yang lebih menyenangkanku dalam kehidupan ini kecuali al-shadiqah dan al-wahth, adapun al-Shadiqah adalah shahifah yang aku tulis dari Rasulullah saw.(Sunan al-Darimi Juz I, hal. 127) 7
Selain al-Shahifah al-Shadiqah, ditemukan beberapa riwayat tentang adanya shahifah-shahifah yang ditulis oleh sahabat ketika Rasulullah masih hidup antara lain Shahifah Ali bin Abi Thalib, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari pada Kitabul Ilm bab Kitabat al-Ilm, demikian juga shahifah Saad bin Ubaddah. Sekitar Larangan Penulisan al-Hadits Sebagaimana telah disebutkan, adanya kegiatan penulisan al-Hadits telah berlangsung semenjak Rasulullah saw masih hidup. Bahkan ada riwayat yang menunjukkan bahwa Abdullah bin Amr menulis al-Hadits atas restu dari Rasulullah sendiri. 8
Selain itu ada juga riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah memerintahkan menulis al-Hadits untuk Abu Sah sebagimanasabda Rasulullah saw,tulislah (khutbahku) untuk Abu Syah (Shahih Bukhari Juz 1, hal 31) 9

B. Cara Rasulullah SAW Menyampaikan Sunnah / Hadits

Semua yang disampaikan terutama melalui ucapan Rasulullah Saw. adalah wahyu, sebagaimana Firman Allah dalam QS. An-Najm: 3 - 4 “Dan tiadalah yang diucap kannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya ( Nabi Muhammad SAW )” 10
Ada beberapa cara Rasulullah SAW dalam menyampaikan Hadits kepada para sahabat, yang disesuaikan dengan kondisi para sahabatnya. Untuk itu, teknik atau cara yang dilakukan Beliau dalam menyampaikan Hadits, sebagai berikut :
a. Melalui para jama'ah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis al-'Ilmi. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya.
b. Dalam banyak kesempatan Rasul SAW juga menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para tersebut disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika ia mewurudkan suatu Hadits, para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik karena disengaja oleh Rasul SAW sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang, seperti Hadits-hadits yang ditulis oleh Abdullah bin Amr bin al-'Ash. Untuk hal-hal yang sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis (terutama yang menyangkut hubungan suami isteri), ia sampaikan melalui isteri-isterinya. Begitu juga sikap para sahabat, jika ada hal-hal yang berkaitan dengan soal di atas, karena segan bertanya kepada Rasul SAW, seringkali ditanyakan melalui isteri-isterinya.
c. Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada' dan fathu Makkah.
d. Melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya (jalan musya'hadah), seperti yang berkaitan dengan praktek-praktek ibadah dan muamalah.
e. Para sahabat yang mengemukana masalah atau bertanya dan berdiolog langsung kepada Nabi SAW.11

Melihat kenyataan ini, umat Islam pada saat itu secara langsung memperoleh Hadits dari Rasul SAW sebagai sumber Hadits, baik itu berupa perkataan, perbuatan dan taqrir. Antara Rasul SAW dengan mereka tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuan mereka.
Para sahabat menerima Hadits dari Rasul SAW adakalanya langsung dari beliau sendiri, mereka langsung mendengar atau melihat contoh perilaku yang dilakukan Nabi SAW, baik karena ada sesuatu soal yang diajukan oleh seseorang kepada Nabi lalu Nabi menjawabnya, atau karena Nabi sendiri yang memulai pembicaan tentang suatu persoalan, indah sekali, betapa bahagia dan damainya kaum muslimun pada saat itu.

C. Penghafalan dan Penulisan Hadits Pada Masa Rasulullah Saw.

1. Penghafalan dan Kontroversi Larangan Penulisan Hadits

Para sahabat dalam menerima hadis dari Nabi SAW. berpegang pada kekuatan hapalannya, yakni menerimanya dengan jalan hapalan, bukan dengan jalan menulis hadis dalam buku. Sebab itu kebanyakan sahabat menerima hadis melalui mendengar dengan hati-hati apa yang disabdakan Nabi. Kemudian terekamlah lafal dan makna itu dalam sanubari mereka.
Mereka dapat melihat langsung apa yang Nabi kerjakan. atau mendengar pula dari orang yang mendengarnya sendiri dari nabi, karena tidak semua dari mereka pada setiap waktu dapat mengikuti atau menghadiri majelis Nabi. Kemudian para sahabat menghapal setiap apa yang diperoleh dari sabda-sabdanya dan berupaya mengingat apa yang pernah Nabi lakukan, untuk selanjutnya disampaikan kepada orang lain secara hapalan pula.
Disisi lain ada riwayat yang menunjukkan pula bahwa Rasulullah saw melarang penulisan al-Hadits sebagaimana hadits dari Abu Said al Khudri Dari Abu Said Al-Khudri, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, Janganlah kalian semua menulis dariku, barang siapa menulis dariku selain al-Quran maka hendaklah menghapusnya (Shahih Muslim Juz II, hal 710, Musnad Ahmad Juz III, hal 12 dan 21)
Adanya larangan penulisan al-Hadits ini secara lahir kontradiksi dengan fakta penulisan al-Hadits dan perintah penulisan al-Hadits. Dalam menyikapi kontradiksi tersebut para ulama berbeda pendapat. Dalam hal ini setidaknya terdapat tiga pendapat antara lain; (a) Hadits pelarangan telah di-nasakh dengan hadits perintah, hal ini didasarkan atas fakta bahwa hadits perintah khususnya hadits Abu Syah disampaikan setelah Fathu al-Makkah, (b) larangan bersifat umum, sedangkan perintah bersifat khusus, yaitu berlaku bagi para sahabat yang kompeten menulis, hal ini karena kebanyakan sahabat adalah ummi atau kurang mampu menulis sehingga dikhawatirkan terjadi kesalahan penulisan, (c) pendapat ketiga menyatakan bahwa larangan bersifat khusus yaitu menulis al-Hadits bersama dengan al-Quran, karena hal ini dapat menimbulkan kerancuan.
Berkaitan dengan ketiga pendapat tersebut menarik disimak pendapat dua orang pakar Hadits kontemporer yaitu Dr. Nuruddin Itr dan Prof. Dr. Muhammad Musthafa Azami. Menurut Dr. Nurudin Itr, pendapat yang menyatakan bahwa hadits tentang pelarangan telah mansukh dengan hadits perintah tidak dapat menyelesaikan persoalan. Karena seandainya larangan penulisan al-Hadits telah di-nasakh dengan hadits perintah niscaya tidak ada lagi sahabat yang enggan menulis al-Hadits sesudah wafat Rasulullah saw.
Bagi para pencari hadits, hal ini akan menjadi argumen mereka menghadapi para sahabat yang enggan menulis al-Hadits, sebab para pencari hadits ini sangat besar keinginannya untuk membukukan hadits. Karena itu, jalan penyelesaiannya adalah bahwa penulisan al-Hadits pada dasarnya tidak dilarang. Adanya larangan penulisan al-Hadits tidak lain karena adanya illat khusus. Ketika illat itu tidak ada, maka otomatis pelarangan tidak berlaku. Illat yang dimaksud adalah adanya kekhawatiran berpalingnya umat dari al-Quran karena merasa cukup dengan apa yang mereka tulis.
Untuk memperkuat argumen ini Nurudin Itr mengutip pernyataan Umar bin Al-Khaththab sebagai mana diriwayatkan oleh Urwah bin Zubair: Kata Umar: Sesungguhnya saya pernah berkeinginan untuk menuliskan sunnah-sunnah Rasulullah saw, tetapi aku ingat bahwa kaum sebelum kamu menulis beberapa kitab lalu mereka menyibukkan diri dengan kitab-kitab itu dan meninggalkan kitab Allah. Demi Allah saya tidak akan mencampuradukkan kitab Allah dengan sesuatu apapun buat selama-lamanya"
Sedangkan Prof. Muhammad Musthafa Azami berpendapat bahwa larangan penulisan al-Hadits berlaku untuk penulisan hadits bersama al-Quran dalam satu naskah. Hal ini karena dikhawatirkan akan terjadi percampuran antara Hadits dengan al-Quran. Ada dua argumen yang disampaikan Azami, pertama bahwa Nabi mengimlakkan sendiri haditsnya. Ini berarti penulisan al-Hadits pada dasarnya tidak dilarang. Kedua, adanya penulisan al-Hadits yang dilakukan oleh banyak sahabat yang telah direstui oleh Rasulullah saw. Berdasarkan dua alasan tersebut secara umum penulisan Hadits tidak dilarang, adanya pelarangan bersifat khusus yaitu menulis Hadits bersama al-Quran.
Hampir semua orang Islam sepakat akan pentingnya peranan hadis dalam berbagai disiplin keilmuan Islam seperti tafsir, fiqh, teologi, akhlaq dan lain sebagainya. Sebab secara struktural hadis merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an, dan secara fungsional hadis dapat berfungsi sebagai penjelas (baya>n) terhadap ayat-ayat yang mujmal atau global. Hal itu dikuatkan dengan berbagai pernyataan yang gamblang dalam al-Qur’an itu sendiri yang menunjukkan pentingnya merujuk kepada hadis Nabi, misalnya Q.S al-Ahzab [33]: 21, 36, al-Hasyr [59]: 7.
Akan tetapi ternyata secara historis, perjalanan hadis tidak sama dengan perjalanan al-Qur’an. Jika al-Qur’an sejak awalnya sudah diadakan pencatatan secara resmi oleh para pencatat wahyu atas petunjuk dari Nabi, dan tidak ada tenggang waktu antara turunnya wahyu dengan penulisannya, maka tidak demikian halnya dengan hadis Nabi. Jika, al-Qur’an secara normatif telah ada garansi dari Allah, dan tidak ada keraguan akan otentisitasnya, maka tidak demikian halnya dengan Hadis Nabi, yang mendapatkan perlakuan berbeda dari al-Qur’an. Bahkan dalam kitab kitab hadis, terdapat adanya pelarangan penulisan hadis. Hal itu tentunya mempunyai impliksi-implikasi tersendiri bagi transformasi hadis, terutam pada zaman Nabi.
Kenyataan tersebut di atas merupakan isu penting dalam sejarah hadis. Sebab hal itu memberi pengaruh penting terhadap gaya atau model periwayatan hadis, jumlahnya, kemungkinan pemalsuannya, baleh tidaknya mengambil hadis sebagai hujjah, serta berbagai masalah lain yang terkait di dalamnya. Memang nampaknya harus diakui bahwa hadis selalu menjadi kajian yang problematik dan menarik bagi para pemikir muslim ataupun non muslim, baik yang mengkajinya sebagai pembela maupun sebagai penentangnya.
Untuk itu melalui tulisan ini, penulis akan melihat bagaimana sebenarnya problem mengenai pelarangan penulisan hadis, bagaimana bentuk transformasi hadis zaman Nabi, dan implikasinya terhadap transformasi perjalanan hadis pada masa Nabi.
Di antara hadis yang melarang penulisan hadis adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri yang artinya sebagai berikut: Abu Said al-Khudri meriwayatkan bahwa Rasul saw, bersabda, “Jangan kamu menulis darikut kecuali al-Qur’an. Barang siapa yang menulisnya hendaknya ia menghapuskannya.
Demikian salah satu hadis yang menyatakan pelarangan penulisan hadis. Apabila ditinjau dari hadis ini, maka dapat diprediksikan bagaimana implikasinya terhadap penulisan dan pembukuan hadis. Ulama kontemporer seperti Muhammad Syharur, misalnya memaknai larangan hadis tersebut sebagai suatu isyarat bahwa hadis itu sebenarnya hanyalah merupakan ijtihad Nabi yang syarat dengan situasi sosio-kultural dimana Nabi hidup.
Namun demikian, disamping ada hadis yang melarang menulisan hadis sebagaimana dikutip di atas, dalam bagian yang lain ada juga hadis-hadis yang menunjukkan kebolehan menulis hadis. Diantaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang artinya sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa ketika Fath Makkah Rasulullah saw. bangkit untuk berkhutbah di tengah orang banyak. Maka berdirilah seorang penduduk Yaman, bernama Abu Syah. Katanya, “Ya Rasulullah, tuliskanlah untukku. “Kata Nabi, “Tuliskanlah untuknya”.
Terhadap dua riwayat yang tampak saling bertentangan tersebut, para ulama berbeda pendapat dalam memahaminya. Sebagian menganggap bahwa larangan itu mutlak, tetapi sebagian ulama yang lain berusaha mengkompromikannya dengan mengembalikan persoalan tersebut kepada empat pendapat:
1. Sebagian ulama menganggap bahwa hadis Abi Said Al-Hudri tersebut Mauquf (Hadits yang disandarkan kepada Sahabat), maka tidak patut untuk dijadikan alasan, untuk melarang penulisan hadis.
2. Larangan penulisan hadis berlaku hanya pada masa awal-awal Islam, karena dikhawatirkan bercampur dengan al-Qur’an. Sehingga ketika umat Islam telah menjadi banyak jumlahnya dan pengetahuan tentang al-Qur’an telah tinggi dan mampu membedakan dengan hadis, maka hilanglah kekhawatiran ini dan dihapuslah hukum pelarangan ini dengan hadis-hadis yang membolehkan pencatatan hadis. Hal ini dibuktikan oleh hadis Abu Syah tersebut yang diriwayatkan diakhir kehidupan Nabi. Ini berarti hadis yang melarang menulis hadis telah dihapus dengan hadis yang membolehkan untuk menulis hadis.
Ada juga ulama yang mengikuti pendapat bahwa pelarangan menulis hadis itu apabila hadis ditulis dalam sahifah yang sama dengan al-Qur’an. Karena biasanya ketika mereka (para sahabat) mendengar ta’wil ayat, mereka lalu menulis dalam sahifah yang sama dengan al-Qur’an. Hal ini tentu dapat menyebabkan adanya iltibas (campur aduk) antara ayat-ayat al- Qur’an dengan hadis, terutama bagi mereka yang tidak mempunyai cita rasa bahasa yang tajam.
3. Dengan adanya larangan penulisan hadis tersebut pada hakekatnya Nabi mempercayai kemampuan para sahabat untuk menghafalkannya, dan Nabi khawatir seseorang akan bergantung pada tulisan, sedang pemberian izin Nabi untuk menulis hadisnya, pada hakekatnya merupakan isyarat bahwa Nabi tidak percaya kepada orang seperti Abi Syah, dapat menghafalkannya dengan baik.
4. Larangan itu bersifat umum, tetapi secara khusus diizinkan kepada orang-orang yang bisa baca tulis dengan baik, tidak salah dalam tulisannya, seperti pada Abdullah bin Umar.”
Meskipun para ulama mempunyai perbedaan pendapat tentang boleh tidaknya penulisan hadis ini, namun nyatanya para sahabat tetap memelihara dan melestarikan hadis Nabi. Hal ini dibuktikan dengan adanya hadis Nabi yang mengatakan: “Riwayatkanlah dari saya. Barang siapa sengaja berbohong atas nama saya maka tempatnya di neraka”. Sehingga apabila menulis hadis menjadi praktek yang dilarang, maka untuk mengantisipasi terjadinya ketidakotentikan hadis ini, Nabi juga memberikan peringatan atau ancaman neraka tersebut.

2. Penulisan Hadits Oleh Sahabat Pada Masa Rasul Saw

Penulisan Hadits oleh Shahabat Pada Masa Rasulullah Saw.. “Dalam buku Studies In Early Hadith Literature yang diterjemahkan oleh Ali Musthafa Yaqub dengan judul Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Dr. Muhammad Mustafa Azami telah mengurakian secara rinci dalam bab tersendiri tentang kegiatan penulisan al-Hadits mulai dari masa Rasulullah saw hingga pertengahan abad ke dua Hijriyah.”
Tampak sekali dari penelitian Azami, bahwa telah terjadi transfer informasi atas riwayat Hadits dari generasi ke generasi mulai dari masa sahabat hingga masa tabiin kecil dan tabittabiin tidak saja dalam bentuk lisan tetapi juga dalam bentuk tulisan. “Misalnya saja catatan dari Abdullah bin Amr bin Ash yang terkenal dengan al-Shahifah al Shadiqah telah ditransferkan kepada muridnya Abu Subrah. Shahifah tersebut juga sampai ke tangan cucunya Syuaib bin Muhammad bin Abdullah bin Amr. Dari tangan Syuaib ini berlanjut ke tangan putra dari Syuaib bin Muhammad atau cicit dari Abdullah bin Amr yaitu Amr bin Syuaib.”
Pada masa tadwin ini penulisan hadits belum tersistimatika sebagimana kitab-kitab Hadits yang ada saat ini tetapi sekadar dihimpun dalam bentuk kitab-kitab jamiĆ¢ dan mushannaf. Demikian juga belum terklasifikasikannya Hadits atas dasar shahih dan tidaknya.
Dengan demikian Proses kodifikasi al-Hadits adalah proses pembukuan al-Hadits secara resmi yang dikoordinasi oleh pemerintah dalam hal ini adalah Khalifah, bukan semata-mata kegiatan penulisan al-Hadits, karena kegiatan penulisan al-Hadits secara berkesinambungan telah dimulai sejak Rasulullah saw masih. Berangkat dari realitas ini adanya tuduhan bahwa al-Hadits sebagai sumber yurisprudensi diragukan otentisitasnya atau tidak otentik merupakan tuduhan yang tidak beralasan karena tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya.
Tentang adanya larangan penulisan Hadits hal ini patut dimaknai larangan secara khusus yaitu menuliskan al-Hadits bersama al-Quran dalam satu tempat sehingga dikhawatirkan menimbulkan kerancuan, atau menyibukkan diri dalam penulisan al-Hadits sehingga mengesampingkan al-Quran.
Para penulis sejarah Rasul, ulama hadis, dan umat Islam semuanya sependapat menetapkan bahwa AI-Quranul Karim memperoleh perhatian yang penuh dari Rasul dan para sahabatnya. Rasul mengharapkan para sahabatnya untuk menghapalkan AI-Quran dan menuliskannya di tempat-tempat tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah kurma, di batu-batu, dan sebagainya.
Ketika Rasulullah SAW. wafat, Al-Quran telah dihapalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Selain itu, ayat-ayat suci AI-Quran seluruhnya telah lengkap ditulis, hanya saja belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika itu kurang memperoleh perhatian seperti halnya Al-Quran. Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi, karena tidak diperintahkan oleh Rasul sebagaimana ia memerintahkan mereka untuk menulis AI-Quran. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadis-hadis Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadis-hadis yang pernah mereka dengar dari Rasulullah SA W.
Diantara sahabat-sahabat Rasulullah yang mempunyai catatan-catatan hadis Rasulullah adalah Abdullah bin Amr bin AS yang menulis, sahifah-sahifah yang dinamai
As-Sadiqah. Sebagian sahabat menyatakan keberatannya terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh Abdullah itu Mereka beralasan bahwa Rasulullah telah bersabda.


Artinya: "Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain Al- Quran. Dan barang siapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al- Quran, hendaklah dihapuskan. " (HR. Muslim)
Dan mereka berkata kepadanya, "Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi, padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau menuturkan sesuatu yang tidak dijadikan syariat umum." Mendengar ucapan mereka itu, Abdullah bertanya kepada Rasulullah SAW. mengenai hal tersebut. Rasulullah kemudian bersabda:

Artinya: "Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku di tangannya. tidak keluar dari mulutku. selain kebenaran ".
Menurut suatu riwayat, diterangkan bahwa Ali mempunyai sebuah sahifah dan Anas bin Malik mempunyai sebuah buku catatan. Abu Hurairah menyatakan: "Tidak ada dari seorang sahabat Nabi yang lebih banyak (lebih mengetahui) hadis Rasulullah daripadaku, selain Abdullah bin Amr bin As. Dia menuliskan apa yang dia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya". Sebagian besar ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadis dinasakh (dimansukh) dengan hadis yang memberi izin yang datang kemudian.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa Rasulullah tidak menghalangi usaha para sahabat menulis hadis secara tidak resmi. Mereka memahami hadis Rasulullah SAW. di atas bahwa larangan Nabi menulis hadis adalah ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukan hadis dengan AI-Quran Sedangkan izin hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukan hadis dengan Al-Quran. Oleh karena itu, setelah Al-Quran ditulis dengan sempurna dan telah lengkap pula turunannya, maka tidak ada Jarangan untuk menulis hadis. Tegasnya antara dua hadis Rasulullah di atas tidak ada pertentangan manakala kita memahami bahwa larangan itu hanya berlaku untuk orang-orang tertentu yang dikhawatirkan mencampurkan AI-Quran dengan hadis, dan mereka yang mempunyai ingatan/kuat hapalannya. Dan izin menulis hadis diberikan kepada mereka yang hanya menulis sunah untuk diri sendiri, dan mereka yang tidak kuat ingatan/hapalannya.
Tentang penulisan al-Hadits oleh Abdullah bin Amr ini, diriwayatkan bahwa beliau menulis al-Hadits dengan sepengetahuan Rasulullah saw, bahkan Rasulullah saw memerintahkannya sebagimana riwayat dari Ibnu Amr berikut: Dari Abdullah bin Amr beliau berkata: Saya menulis setiap yang saya dengar dari Rasulullah saw untuk saya hafalkan, maka orang-orang Quraiys mencegahku dengan berkata; ?apakah kamu menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah saw ? Sedangkan Rasulullah saw adalah manusia yang kadang-kadang berbicara dalam keadaan marah dan kadang-kadang dalam keadaan ramah?, maka akupun menghentikan penulisan itu, dan mengadukannya pada Rasululah saw, maka sambil menunjuk mulutnya beliau bersabda, ?Tulislah! Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak keluar darinya (maksudnya lisan Rasulullah) kecuali yang hak (Sunan Abi Dawud Juz III, hal. 318, Musnad Ahmad Juz II, hal. 162)
Catatan Hadits dari Abdullah bin Amr inilah yang beliau namai dengan al-Shahifah al-Shadiqah. Beliau sangat menghargai tulisan ini sebagaimana pernyataannya: Tidak ada yang lebih menyenangkanku dalam kehidupan ini kecuali al-shadiqah dan al-wahth, adapun al-Shadiqah adalah shahifah yang aku tulis dari Rasulullah saw.(Sunan al-Darimi Juz I, hal. 127)
Selain al-Shahifah al-Shadiqah, ditemukan beberapa riwayat tentang adanya shahifah-shahifah yang ditulis oleh sahabat ketika Rasulullah masih hidup antara lain Shahifah Ali bin Abi Thalib, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari pada Kitabul Ilm bab Kitabat al-Ilm, demikian juga shahifah Saad bin Ubaddah. Sekitar Larangan Penulisan al-Hadits Sebagaimana telah disebutkan, adanya kegiatan penulisan al-Hadits telah berlangsung semenjak Rasulullah saw masih hidup. Bahkan ada riwayat yang menunjukkan bahwa Abdullah bin Amr menulis al-Hadits atas restu dari Rasulullah sendiri.
Selain itu ada juga riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah memerintahkan menulis al-Hadits untuk Abu Sah sebagimana sabdanya: Bersabda Rasulullah saw, tulislah (khutbahku) untuk Abu Syah (Shahih Bukhari Juz 1, hal 31)
Di luar hal ini ada riwayat yang menunjukkan pula bahwa Rasulullah saw melarang penulisan al-Hadits sebagaimana hadits dari Abu Said al Khudri Dari Abu Said Al-Khudri, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, Janganlah kalian semua menulis dariku, barang siapa menulis dariku selain al-Quran maka hendaklah menghapusnya (Shahih Muslim Juz II, hal 710, Musnad Ahmad Juz III, hal 12 dan 21)
Adanya larangan penulisan al-Hadits ini secara lahir kontradiksi dengan fakta penulisan al-Hadits dan perintah penulisan al-Hadits. Dalam menyikapi kontradiksi tersebut para ulama berbeda pendapat. Dalam hal ini setidaknya terdapat tiga pendapat antara lain; (a) Hadits pelarangan telah di-nasakh dengan hadits perintah, hal ini didasarkan atas fakta bahwa hadits perintah khususnya hadits Abu Syah disampaikan setelah Fathu al-Makkah, (b) larangan bersifat umum, sedangkan perintah bersifat khusus, yaitu berlaku bagi para sahabat yang kompeten menulis, hal ini karena kebanyakan sahabat adalah ummi atau kurang mampu menulis sehingga dikhawatirkan terjadi kesalahan penulisan, (c) pendapat ketiga menyatakan bahwa larangan bersifat khusus yaitu menulis al-Hadits bersama dengan al-Quran, karena hal ini dapat menimbulkan kerancuan.
Berkaitan dengan ketiga pendapat tersebut menarik disimak pendapat dua orang pakar Hadits kontemporer yaitu Dr. Nuruddin Itr dan Prof. Dr. Muhammad Musthafa Azami. Menurut Dr. Nurudin Itr, pendapat yang menyatakan bahwa hadits tentang pelarangan telah mansukh dengan hadits perintah tidak dapat menyelesaikan persoalan. Karena seandainya larangan penulisan al-Hadits telah di-nasakh dengan hadits perintah niscaya tidak ada lagi sahabat yang enggan menulis al-Hadits sesudah wafat Rasulullah saw.
Bagi para pencari hadits, hal ini akan menjadi argumen mereka menghadapi para sahabat yang enggan menulis al-Hadits, sebab para pencari hadits ini sangat besar keinginannya untuk membukukan hadits. Karena itu, jalan penyelesaiannya adalah bahwa penulisan al-Hadits pada dasarnya tidak dilarang. Adanya larangan penulisan al-Hadits tidak lain karena adanya illat khusus. Ketika illat itu tidak ada, maka otomatis pelarangan tidak berlaku. Illat yang dimaksud adalah adanya kekhawatiran berpalingnya umat dari al-Quran karena merasa cukup dengan apa yang mereka tulis.
Untuk memperkuat argumen ini Nurudin Itr mengutip pernyataan Umar bin Al-Khaththab sebagai mana diriwayatkan oleh Urwah bin Zubair: Kata Umar: Sesungguhnya saya pernah berkeinginan untuk menuliskan sunnah-sunnah Rasulullah saw, tetapi aku ingat bahwa kaum sebelum kamu menulis beberapa kitab lalu mereka menyibukkan diri dengan kitab-kitab itu dan meninggalkan kitab Allah. Demi Allah saya tidak akan mencampuradukkan kitab Allah dengan sesuatu apapun buat selama-lamanya"
Sedangkan Prof. Muhammad Musthafa Azami berpendapat bahwa larangan penulisan al-Hadits berlaku untuk penulisan hadits bersama al-Quran dalam satu naskah. Hal ini karena dikhawatirkan akan terjadi percampuran antara Hadits dengan al-Quran. Ada dua argumen yang disampaikan Azami, Pertama bahwa Nabi mengimlakkan sendiri haditsnya. Ini berarti penulisan al-Hadits pada dasarnya tidak dilarang. Kedua, adanya penulisan al-Hadits yang dilakukan oleh banyak sahabat yang telah direstui oleh Rasulullah saw. Berdasarkan dua alasan tersebut secara umum penulisan Hadits tidak dilarang, adanya pelarangan bersifat khusus yaitu menulis Hadits bersamaan al-Quran.
Dalam bahasan ini akan dijelaskan tentang jumlah hadits yang ditulis pada masa Nabi saw. Apakah benar jumlahnya kecil, seperti yang diragukan oleh sebagian orang? Untuk mendapatkan gambaran yang jelas, riwayat para sabahat yang langsung menulis hadits Nabi pada generasi pertama berikut ini bisa dijadikan rujukan. Dalam hal ini, riwayat mereka lebih kuat dan tidak bisa diragukan lagi. Riwayat-riwayat tersebut antara lain sebagai berikut.

3. Beberapa Shahifah Hadits Ditulis Sahabat Pada Masa Rasul Saw.

Shahifah Abdullah bin 'Amr
1. Abdullah bin 'Amr berkata, "Dulu aku menulis setiap yang kudengar dari Rasulullah saw. karena ingin menghafalnya. Namun, kaum Quraisy melarangku dan berkata, 'Kamu menulis setiap yang kau dengar dari Rasulullah saw.? Padahal, beliau adalah manusia yang berbicara dalam keadaan marah dan senang.' Maka, aku berhenti menulis sampai mengadukan hal ini kepada Rasulullah saw. Beliau lalu bersabda, 'Tulislah, demi diriku yang ada di tangan-Nya, tidak ada yang keluar dariku kecuali kebenaran'."
Riwayat ini menjelaskan bahwa Abdullah bin 'Amr pernah menulis hadits-hadits yang ia dengar langsung dari Rasulullah saw. Riwayat berikut ini juga menjelaskan tentang izin Nabi saw. untuk menulis hadits.
2. Abdullah bin 'Amr menceritakan, "Aku minta izin kepada Nabi saw. untuk menulis apa yang aku dengar dari beliau. Beliau mengizinkan dan aku pun menulisnya." Abdullah memberi nama lembarannya itu dengan Ash-Shadiqah. (Sunan Abu Daud, Kitab al-'Ilm, Bab fi Kitab al-Ilm, juz 4, hlm. 60-61, no. hadits 3545; Sunan ad-Daraimi, juz 1, hlm. 125; Al-Hakim, juz 1, hlm. 105-106; Musnad Ahmad, Tahqiq Ahmad Syakir, juz 10, hlm. 15).
3. Mujahid menuturkan, "Aku melihat lembaran pada Abdullah bin 'Amr, lalu aku bertanya kepadanya tentang hal itu. Ia menjawab, "Ini adalah Ash-Shadiqah yang memuat apa yang kudengar langsung dari Rasulullah saw. tanpa perantara." (Dr. Daud Rasyid, MA, Bandung: Syaamil, 2006 , hlm. 52 .
Berbagai riwayat ini mengisyaratkan bahwa Shahifah ash-Shadiqah milik Abdullah bin 'Amr memuat jumlah hadits yang cukup banyak, karena ia menulis setiap yang ia dengan dari Rasulullah saw. Wajar, jika Abdullah bin 'Amr dikenal banyak meriwayatkan hadits. Hal ini diakui sendiri oleh Abu Hurairah r.a., seorang sahabat yang memiliki daya ingat yang kuat dan paling banyak meriwayatkan hadits. Hal ini adalah berkat doa Rasulullah saw. agar dia diberi hafalan yang kuat. Semua ini semakin membuktikan betapa banyak hadits yang ditulis Abdullah bin 'Amr.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya dengan sanadnya bahwa Abu hurairah berkata, "Tidak ada sahabat Nabi saw. yang lebih banyak meriwayatkan hadits daripada saya, kecuali Abdullah bin 'Amr, sebab ia menulis sedang aku tidak menulis." (Shahih Bukhari, Kitab Al-'Ilm, no. hadits 113).
Abu Hurairah mengakui bahwa jumlah hadits Abdullah bin 'Amr melampaui jumlah haditsnya karena Abdullah bin 'Amr menulis dan ia tidak. Riwayat ini mengisyaratkan bahwa jumlah hadits yang ditulis pada masa Rasulullah saw. sangat banyak. Tidak seperti asumsi sebagian orang bahwa sunnah pada masa itu kurang diperhatikan.
Hal ini ditegaskan Abdullah bin 'Amr, "Aku menghafal seribu hadits dari Nabi saw." (Ali bin Muhammad al-Jazairi, Usud al-Ghabah fi Ma'rifat ash-Shahabah, tahqiq Muhammad Ibrahim al-Banna dkk, Thab'at asy-Sya'b, kairo, tahun 1970, juz 3, hlm. 349). Imam Adz-Dzahabi berkata, "Jumlah sanadnya mencapai 700. Jumlah hadits yang dimuat Bukhari dan Muslim secara bersamaan sebanyak tujuh buah. Imam Bukhari meriwayatkan sendirian sebanyak delapan sanad dan Muslim sebanyak dua puluh hadits."
Imam Ahmad meriwayatkan isi Shahifah ini dalam Musnadnya, seperti yang telah dihitung Dr. Muhammad 'Ajjaj al-Khathib dalam empat juz berturut-turut. Dimulai dari juz 9, hlm. 235 hadits 6.477. Dalam juz 10 dan 11 dimuat secara utuh dan berakhir pada juz 12 halaman 50, hadits 7.103. Hadits-hadits dari Abdullah bin 'Amr juga banyak dimuat dalam kitab-kitab sunnah lainnya. (Musnad Ahmad, Tahqiq Ahmad Syakir, juz 9, hlm. 235, juz 10, 11, dan 12, hlm. 50; lihat juga 'Ajjaj, As-Sunnah, hlm. 350 [catatan kaki]).
Shahifah Ali bin Abi Thalib
Meski riwayat Ali bin Abi Thalib tersebar di berbagai kitab sunnah, Shahifah (lembaran) beliau sekilas hanya tampak memuat sedikit hadits. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Terbukti Shahifah ini memuat banyak tema, seperti dijelaskan Dr. Rif'at Fauzi yang men-tahqiq (meneliti) dan memberikan ta'liq (anotasi).
Di antara tema hadits tersebut adalah kewajiban zakat. Di sini dijelaskan macam-macam kewajiban dan perinciannya. Ini sama dengan keterangan dalam catatan milik Abu Bakar yang ditulis bersumber dari Rasulullah saw. pendapat yang lebih kuat menyebutkan bahwa keterangan dalam catatan Abu Bakar berasal dari Shahifah Ali bin Abi Thalib. (Prof. Dr. Rif'at Fauzi, Shahifah 'Ali bin Abi Thalib, hlm. 46). Dalam Shahifah ini juga terdapat berbagai keterangan tentang diyat (denda untuk pidana badan) dan perkara-perkara yang menyangkut kejahatan terhadap manusia (jirahat).
Untuk menguatkan simpulan ini adalah catatan dari Rasulullah saw. yang dikirim kepada penduduk Yaman. Catatan lalu disalin oleh keturunan 'Amr bin Hazm karena ayahnya, 'Amr bin Hazm adalah orang yang menerima kiriman catatan ini. Kitab ini juga menjelaskan berbagai kewajiban kaum Muslimin, sunnah, dan diyat.
Shahifah Amr bin Hazm
Imam Ibnul Qayyim mengomentari catatan yang dikirim kepada Amr bin Hazm sebagai berikut. "Buku ini sangat agung dan memuat banyak bahasan fikih." (Ibn al-Qayyim, Zad al-Ma'ad fi Hadyi Khairi al-'Ibad, jilid 1, hlm. 119).
Peneliti Ahmad bin Abdurrahman ash-Shuwayan meringkas masalah yang termuat dalam buku ini dalam 21 bahasan, yaitu sebagai berikut. 1. Zakat dan nishab barang tambang. 2. Zakat onta. 3. Zakat sapi. 4. Zakat kambing. 5. Kriteria harta yang harus dizakati. 6. Zakat uang. 7. Dua barang yang tercampur dengan zakat. 8. Zakat bagi Ahli Bait (keluarga Rasulullah saw.). 9. Tidak ada zakat bagi seorang hamba Muslim dan kudanya. 10. Jumlah jizyah. 11. Dosa yang paling besar. 12. Tidak boleh menyentuh Al-Qur'an kecuali orang yang bersuci. 13. Ketentuan diyat (denda pembunuhan). 14. Shalat dalam satu pakaian. 15. Pemberian hadiah. 16. Akad gandum. 17. Waktu-waktu shalat. 18. Membaguskan wudhu. 19. Umrah (haji kecil). 20. Waktu thalaq (perceraian). 21. Waktu memerdekakan budak. (Lihat Ahmad Abd al-Rahman ash-Shuayyan, Shaha'if al-Shahabah, hlm. 114).
Selanjutnya, di sini kami batasi keterangan mengenai sebagian yang termuat dalam buku tersebut, yakni penjelasan tentang diyat dan perkara-perkara yang menyangkut kejahatan terhadap manusia , untuk membuktikan bahwa kedua hal ini juga dimuat dalam lembaran Ali r.a.
Abu Bakar bin Muhammad bin 'Amr bin Hazm meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Rasulullah saw. mengirim catatan kepada penduduk Yaman. Catatan itu menjelaskan hal berikut. "Siapa yang terbukti membunuh seorang mukmin tanpa sengaja, dia harus diqishah, kecuali jika keluarga yang terbunuh rela. Pembunuhan terhadap satu jiwa diwajibkan membayar diyat." (Ibnu Hibban, Kitab az-Zakat, Bab Fardh az-Zakat wa Kam Tajib fih. Lihat Al-Haitsami, Mawarid al-Zham'an, hlm. 202-203; Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, Kitab Az-Zakat, juz 1, hlm. 395-397; Al-Baihaqi, Al-Sunnah al-Kubra, Kitab Az-Zakat, Bab Kayfa Fardh ash-Shadaqah, juz 4, hlm. 89-90; Ibn 'Abd al-Barr, Al-Tamhid, juz 17, hlm. 339-341).
Imam Baihaqi meriwayatkan, ketika Umar bin Abdul Aziz memangku jabatan khilafah, beliau mengutus orang ke Madinah untuk mencari catatan Rasulullah saw. tentang zakat, termasuk catatan milik Umar bin Khatthab. Utusan beliau menemukan catatan yang disampaikan pada Amr bin Hazm tentang zakat. Selain itu, pada keluarga Umar ditemukan catatannya yang juga menjelaskan masalah serupa, yang isinya seperti catatan Nabi saw. Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk menyalin keduanya. (Al-Baihaqi, Al-Sunnan al-Kubra, juz 4, hlm. 91).
Ini adalah bukti bahwa sebagian hadits yang dikumpulkan Umar bin Abdul Aziz dari seluruh penjuru wilayah Islam yang tersebar bersama para sahabat bersumber dari apa yang telah ditulis Rasulullah saw. (Dr. Rif'at Fauzi, Shahifah 'Ali bin Abi Thalib, hlm. 50).
Terdapat juga lembaran Jabir bin Abdullah al-Anshari yang sangat terkenal di kalangan ahli hadits. Diceritakan bahwa Mujahid bin Jabar meriwayatkan dari lembaran tersebut. (Ibnu Sa'ad, At-Thabaqat al-Kubra, juz 5, hlm. 44). Sahabat Nabi yang mulia ini juga telah meriwayatkan banyak ilmu (hadits) yang bermanfaat dari Rasulullah saw, seperti diisyaratkan Adz-Dzahabi yang berkata, "Musnadnya mencapai 1.540 hadits; yang dimuat bersama oleh Bukhari dan Muslim berjumlah 59 hadits. Bukhari meriwayatkan sendiri berjumlah 26 hadits, sedangkan Muslim meriwayatkan sendiri 126 hadits." (Adz-Dzahabi, Tazkiratul Huffazh, juz 1, hlm. 43).
Di antara hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya yang berasal dari lembaran ini terkait dengan tata cara haji mencapai 30 hadits. (Shahih Muslim, juz 2 hlm. 881-893. Kitab Al-Hajj, Bab Bayan Wujuhul Ihram, Hadits no. 136-150; Rif'at Fauzi, Tautsiq as-Sunnah, op.cit., hlm. 52). Riwayat terpanjang diriwayatkan Ja'far bin Muhammad dari ayahnya, dari Jabir bin Abdullah mengenai haji wada. Dalam kitab Shahih Muslim, hadits ini berisi lebih dari empat halaman tentang cara haji Nabi secara lengkap.
Diceritakan, Jabir bin Abdullah menulis hadits di atas papan. Rabi' bin Sa'ad meriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, ia berkata, "Aku melihat Jabir di tempat Ibnu Sabith sedang menulis di atas papan." Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al-Kufi al-Absi, Al-Mushannaf fi al-Hadits wa al-Atsar, tahqiq: Mukhtar Ahmad al-Nadawi, Dar al-Salafiyah, Bombay, India, cet. pertama, tahun 1401, juz 9, hlm. 49). Sejumlah muridnya menemui Jabir untuk menulis hadits. Abdullah bin Muhammad bin 'Uqail bin Abi Thalib berkata, "Dulu saya pergi bersama Muhammad bin Ali Abu Ja'far dan Muhammad al-Hanafiah menemui Jabir bin Abdullah. Kami bertanya kepadanya tentang sunnah Rasulullah saw. tentang cara shalat beliau. Kami menulis dan belajar darinya." (Abu Ja'far Ahmad bin Muhammad bin Salamah al-Azdi al-Thahawi al-Hanafi (235 H), Syarah Ma'ani al-Atsar, tahqiq Muhammad Zuhri al-Najjar, Daru al-Kutub al-'Ilmiyah, Beirut, cet. pertama, tahun 1399 H, juz 4, hlm. 319; Al-Qadhi al-Hasan bin 'Abd al-Rahman ar-Ramahurmuzi, Al-Muhaddits al-Fashil baina ar-Rawi wal Wa'i, tahqiq Dr. M. 'Ajjaj al-Khathib, Dar al-Fikr, Dimasyq, cet. pertama, tahun 1391 H/1971M, hlm. 370; Al-Khatib al-Baghdadi, Taqyid al-'Ilmi, op.cit., hlm. 104).
Abu Khutsaimah menceritakan, Ibnu Abbas r.a. sangat menyarankan penulisan. Beliau menasihatkan, "Ikatlah ilmu itu dengan cra menulisnya. Siapa yang membeli ilmu dariku dengan satu dirham." (Abu Khaitsamah Zuhair bin Harb an-Nasa'i (160-234 H), Kitab al-'Ilm, tahqiq Muhammad Nashiruddin al-Albani, Al-Mathba'ah al-'Umumiyyah, Dimasyq, hlm. 144). Ibnu Sa'ad menceritakan bahwa Ibnu Abbas mempunyai sejumlah catatan sebanyak muatan unta. (Ibnu Sa'ad, op.cit., juz 5, hlm. 216, Sejarah Hidup Kuraib bin Abi Muslim).
Selain Abdullah bin Amr, Ali bin Abi Thalib, Jabir bin Abdullah dan para sahabat r.a. lainnya juga memiliki catatan hadits Rasulullah saw. Seluruh nash ini menegaskan kepada kita bahwa jumlah hadits yang ditulis pada masa Nabi saw. sangatlah banyak. Dengan demikian, apa yang disangkakan atau dituduhkan Dr. Harun Nasution bahwa penulisan hadits pada masa Nabi tidak terjadi atau kalaupun terjadi hanya sedikit adalah sebuah anggapan atau tuduhan yang salah.
4. Beberapa Sahabat Periwayat Hadits Masa Rasulullah Saw
1. Abu Hurairah, meriwayatkan hadits sekitar ...................5374 buah.
2. Abdullah bin ‘ Umar bin Khattab, meriwayatkan sekitar 2630 buah.
3. Anas bin Malik, meriwayatkan sebanyak ……………….2286 buah.
4. Abdullah bin ‘Abbas, meriwayatkan sebanyak …………1160 buah.
5. ‘Aisyah Ummul Mu'minin, meriwayatkan sebanyak ……2210 buah.
6. Jabir bin ‘Abdillah meriwayatkan sebanyak …………….1540 buah.
7. Abu Sa'id al-Hudri meriwayatkan ………………………..1170 buah.


Bab III PENUTUP

A. Simpulan

Keberadaan As-Sunnah atau Al-Hadits pada masa Rasulullah Saw atau pada masa wahyu mutlak kebenarannya, masa itu benar-benar masa pesatnya produk Hadits dari Rasulullah Saw. Kondisi demikian benar-benar direspon oleh para sahabat dan kaum muslimin dengan berbagai bentuk seperti; dalam hal penghafalan, penulisan, dan pengumpulan atau penguasaan Hadits yang dilakukan oleh sahabat.
Mencermati sejarah perkembangan Hadits , khususnya pada masa Nabi Saw. nampak tercatat adanya kehati-hatian dari semua pihak, baik dari Rasulullah Saw sendiri maupun dari kalangan para sahabat Beliau kala itu, karena masih dalam masa wahyu al-Quran, sehingga terlihat adanya controversial terutama dalam hal penulisan atau pencatatan Hadits, ini terbukti dengan adanya beberapa Hadits Nabi Saw. yang menyatakan larangan dan suruhan menulis hadits kepada sahabat.
Kondisi yang controversial dalam hal penulisan Hadits pada masa Rasul tersebut telah diklarifikasi oleh kalangan Ulama Hadits dengan kesimpulan mereka bahwa larangan menulis hadits adalah demi menjaga kemurnian wahyu Al-Quran saat itu, larangan juga dimaknai secara umum, sedangkan perintah menulis hadis lebih bersifat khusus dan sangat selektif dalam berbagai aspek.
Walhasil, pada masa Rasulullah Saw. telah tersusun beberapa Shahifa Hadits oleh beberapa sahabat perawi hadits yang sangat terpercaya, dari cikal bakal sahifah untuk selanjutnya berkembang penghimpunan dan penyusunan berbagai klasifikasi hadits atau sunnah.

B. Saran

Mengingat sangat terbatasnya kemampuan Penulis dalam menelaah berbagai literature Ulumul Hadits sehingga muatan dan pembahasan makalah ini sangat tidak sempurna. Oleh karena itu , penulis sangat mengharap kepada pihak pembaca makalah ini kiranya memberi masukan, perbaikan, dan penyempurnaan seperlunya. Terima kasih.
Wallahu A’lam.


DAFTAR KUTIPAN ( ENDNOTES )

1 Ainul Yaqin, Sejarah Kodifikasi Hadits Nabi Saw, http//
www.sidogiri.com, page 1, 12 October
2005
2 Yusuf Al-Qardhawi, Pengantar Studi Hadits, Pustaka Setia, Ban dung, 2007, hlm. 113
3 Ibid , hlm. 114
4 Ibid , hlm. 114
5 Daud Rasyid, M.A, Hadits yang Ditulis pada Masa Nabi Sedikit?, Pusat Kajian Islam
http://www.alislamu.com , Page 1, 06 October 2007
6 Ibid , hlm. Page 1
7 Ibid , hlm. Page 1
8 Ibid , hlm. Page 1
9 Ibid , hlm. Page 1
10 Mahmud Yunus, Tarjamah Al-Quran Al-Karim, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1987, hlm. 474
11 Daud Rasyid, M.A, Hadits yang Ditulis pada Masa Nabi Sedikit?, Pusat Kajian Islam
http://www.alislamu.com , Page 1, 06 October 2007

(Seterusnya banyak materi makalah dari hlm. 5 - 20 dikutif dari ganbungan beberapa alamat website internet , lihat Daftar Kepustakaan)


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abubakar Muhammad, Hadits Tarbiyah, Al-Ikhlas , Surabaya, 1995,

Ahmad Nurcholish, Asal Usul Kemunculan Aliran-Aliran dalam Islam,
http://www.icrp-
online.org, page 1, 24 Mei 2007

Ahmad Qodri Abdillah Azizy, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, PT. Ikhtiar Baru,
Jakarta, 2002,

Ainul Yaqin, Sejarah Kodifikasi Hadits Nabi Saw, http//
www.sidogiri.com, page 1, 12
October 2005

Anoname,
Kodifikasi Sunnah, Masa Nabi , caksafa.multiply.com/journal/item/14, page 1
01 Jun 2006

Daud Rasyid, M.A, Hadits yang Ditulis pada Masa Nabi Sedikit?, Pusat Kajian Islam
http://www.alislamu.com , Page 1, 06 October 2007

Katalisator, Ensiklopedi Hukum Islam 2, PT. Ikhtiar Baru, Jakarta, 2006

Katalisator, Ensiklopedi Islam 2, PT. Ikhtiar Baru, Jakarta, 2001

Muhammad Ahmad, M. Muzakir, Ulumul Hadfits, Pustaka Setia , Bandung , 1998.

Muhammad Hamidullah, Pengantar Studi Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1974

Munzier Saputra, Ilmu Hadits, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.

Rofiq Nurhadi, Larangan Penulisan Hadis dan Implikasinya Terhadap Transformasi
Hadis Pada Masa Nabi, Jurnal Online uin-suka.info/ejurnal/index.php? option=
com, page 1

Yusuf Al-Qardhawi, Pengantar Studi Hadits, Pustaka Setia, Bandung, 2007.

1 Ainul Yaqin, Sejarah Kodifikasi Hadits Nabi Saw, http// www.sidogiri.com, page 1, 12 October 2005
2 Yusuf Al-Qardhawi, Pengantar Studi Hadits, Pustaka Setia, Ban dung, 2007, hlm. 113
3 Ibid , hlm. 114
4 Ibid , hlm. 114
5 Daud Rasyid, M.A, Hadits yang Ditulis pada Masa Nabi Sedikit?, Pusat Kajian Islam
http://www.alislamu.com , Page 1,
06 October 2007
6 Ibid , hlm. Page 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar