Selasa, 30 Juni 2009

MAKALAH : SEJARAH INTELEKTUAL PENDIDIKAN ISLAM

KEHIDUPAN GURU DAN MURID DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Oleh : Drs. Bahruny DP

A. PENDAHULUAN
Di antara factor pendidikan yang terpenting adalah factor Guru dan Murid. Mereka adalah subjek dan objek pendidikan yang saling berinteraksi agar tujuan pendidikan yang diinginkan dapat terwujud. Guru secara profesional sangat besar peranannya untuk menentukan ke mana arah potensi murid yang akan dikembangkan. Murid juga tidak hanya sekedar pasif, tetapi harus aktif, kreatif dan dinamis dalam berinteraksi dengan Gurunya, sekaligus dalam upaya pengembangan keilmuannya.

Idealnya dalam konsep pendidikan Islam, Guru dan Murid harus memili ki karakteristik sesuai dengan nuansa pendidikan Islam itu sendiri. Karakteristik ini akan membedakan konsep Guru dan Murid dalam pandangan pendidikan lainnya. Hal itu dapat ditelusuri melalui berbagai aspek, salah satunya adalah bagaimana keadaan kehidupan seorang Guru juga Murid dalam proses perjalanan sejarah dunia pendidikan Islam sejak dahulu hingga sekarang, sejak masa Rasulullah hingga masa modern ini. Inilah yang ingin penulis telusuri sebagai bahan bahasan dalam makalah ini berjudul ”Kehidupan Guru dan Murid Dalam Pendidikan Islam.”

Relevansinya dengan judul tersebut, dalam makalah ini akan dipaparkan beberapa bagian bahasan, selain bagian pendahuluan dan penutup, seacara khusus substansinya adalah ; Beberapa pengertian, Kehidupan Guru dan Murid dengan beberapa aspek dan karakteristiknya sejak Preode Klasik (571-750 M), Preode Pertengahan (750-1250 M), dan Preode Mudern (1250 M- Sekarang).[1]

Kepada kawan-kawan peserta diskusi, diharapkan koreksi, masukan, dan pembetulan seperlunya secara ilmiah dan faktual, karena mengingat dalam penulisan makalah ini sangat terbatas, baik segi teknis maupun konteks muatannya isi serta analisisnya.

B. PENGERTIAN KEHIDUPAN, GURU, DAN MURID
1. Pengertian Kehidupan
Pengertian secara nominal bahwa Kehidupan dari kata dasar ‘hidup’ mengandung banyak arti, antara lain; “ 1.masih terus ada, bergerak, dan bekerja sebagaimana mestinya, 2.mengalami kehidupan dalam keadaan atau dengan cara tertentu, 3.memperoleh, mendapat rezeki dengan jalan sesuatu, 4.berlangsung ada kerena sesuatu, 5.tetap ada, tidak hilang, 6.masih tetap dipakai, dst. … Kata hidup yang mendapat imbuhan ke-an , yang berarti “ cara, hal, atau keadaan hidup.” Dari makna kata hidup / kehidupan tersebut dapat dimaknai sebagai suatu keadaan sikap dan perilaku hidup manusia itu sendiri.[2]
Mencermati pengertian atau makna kata Kehidupan tersebut relevansi nya dengan pokok pembahasan makalah ini, maka penulis membatasi secara operasional bahwa, yang dimaksud Kehidupan Guru dan Murid Dalam Pendidikan Islam dimaksud ialah ; menggambarkan secara singkat perihal karakteristik profesionalitas Guru dan Murid, Sosial ekonomi dan jaminan kesejahteraan mereka dalam mengemban missi pendidikan Islam secara preodik, sejaka preode Nabi Muhammad Saw. hingga preode modern sekarang sesuai dengan tugas dan kewajiban serta tanggung jawab masing-mamsing.


2. Pengertian Guru dan Karakteristiknya
a. Pengertian Guru
Makna kata Guru ialah ”Orang yang pekerjaannya, mata pencaharian nya, profesinya mengajar, atau pengajar.”[3] Guru adalah spiritual father atau bapak rohani bagi seorang murid, dialah yang memberi santapan jiwa dengan ilmu, pendidikan akhlak dan membenarkannya, ... dengan Guru itulah murid hidup dan berkembang.”[4]
Di Indonesia, pengertian Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,dan mengeva luasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.[5]
Istilah penyebutan Guru lebih dikenal dalam dunia pendidikan formal. Jika dicermati hakekat profesi Guru pada dasrnya adalah mendidik para muridnya. Dalam bahasa Arab, juga ditemukan beberapa istilah yang memiliki makna yang sama guru atau pendidik, yaitu ustadz, mudarris, mu’allim, mu’addib, dan murabbi.
Kata ustadz jamaknya asaatidz yang berarti teacher (guru), professor (gelar akademik), jenjang di bidang intelektual, pelatih, penulis, dan penyiar. Adapun kata mudarris berarti teacher (guru), instructor (pelatih), lecture (dosen). Sedangkan kata mu’allim yang juga berarti teacher (guru), instructor (pelatih), dan trainer (pemandu). Sedangkan kata mu’addib berarti educator (pendidik) atau teacher in koranic school (Guru dalam lembaga pendidikan al-Quran).[6] Kata ”murabbi”, sering dijumpai dalam kalimat yang orientasinya lebih mengarah pada pemeliharaan, baik yang bersifat jasmani atau rohani. ”Sebagai murabbi ia bertanggung jawab memantau perkembangan keperibadian anak dari segala dimensinya.”[7]


b. Persyaratan Dasar dan Karakterristik Guru

Menurut Al-Kanani (w. 733 H), seperti yang dikutip oleh Ramayulis, bahwa ada beberapa persyaratan seorang pendidik (Guru) dalam pandangan pendidikan Islam sebagai berikut ; Pertama, Persyaratan pendidik berhubungan dengan dirinya sendiri. Kedua, Persyaratan yang berhubungan dengan Profesionalisme, syarat-syarat paedagogis dan didaktis Ketiga, Syarat-syarat pendidik (Guru) kaitannya dengan motivasi pola komunikasi di tengah-tengah muridnya. [8]
Muhammad Athiyah Al-Abrasy mengemukakan beberapa karakteristik atau sifat pendidik (Guru) sebagai berikut ;1) Seorang pendidik bersifat zuhud, artinya melaksanakan tugasnya bukan bertujuan materi, melainkan mendidik untuk mencari keridhaan Allah. 2) Seorang pendidik harus bersih lahir batin, jauh dari dosa dan kesalahan, sifat ria dengki, permusuhan, dan sifat –sifat tercela lainnya. 3) Seorang pendidik harus ikhlas dalam menjalankan tugasnya dan memiliki sifat-sifat terpuji lainnya, seperti tawaddhu , jujur, lemah lembut, dsb. 4) Seorang guru harus bersifat pemaaf, terhadap muridnya, ia mampu menahan diri dan kemarahan, lapang hati, bersabar dan mempunyai harga diri. 5) Seorang pendidik harus mencintai dan memeperhatikan muridnya seperti cinta dan perhatiannya terhadap anak-anaknya sendiri. 6) Seorang pendidik harus mengetahui karakter, tabiat, sikap perilaku, potensi dan bakat setiap muridnya. 7) Seorang pendidikharus menguasai materi pelajaran yang ia berikan kepada para muridnya.

Dengan demikian tugas yang mesti diemban oleh Guru (pendidik) tidaklah mudah, sebab Islam menuntut pendidik (Guru) tersebut melakukan terlebih dahulu apa-apa yang akan ia ajarkan. Dengan begitu, pendidik akan mampu menjadi teladan (uswah) bagi peserta didiknya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh pendidik yang mulia, yaitu Nabi Muhammad SAW.



3. Pengertian Murid dan Karakteristiknya

a. Pengertian Murid
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian kata murid ialah ”Orang atau anak yang sedang berguru, belajar, bersekolah.”[9] Murid adalah orang atau anak yang memeperoleh pendidikan dasar dari satu lembaga pendidikan.”[10] Definisi Murid. Kata murid berasal dari bahasa Arab, yaitu ’arada, yu’ridu, iraadatan, muriidan yang berarti orang yang menginginkan ... Ini menjadi salah satu Sifat Allah yang berarti Maha Menghendaki. [11]

Istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan term student (siswa); yaitu tilmidh, (jamak talaamidh, talaamida) yang berarti murid, dan thaalib jamak thalaba, tullaab) yang berarti orang yang menuntut ilmu-ilmu (agama), pelajar atau mahasiswa.”[12] ”Dalam bahasa Arab, setidaknya ada tiga istilah yang menunjukkan makna peserta didik, yaitu murid, al-tilmīdz, dan al-thaalib. Murid berasal dari kata ‘arada, yuridu, iradatan, muridan yang berarti orang yang menginginkan (the willer).[13] Pengertian ini menunjukkan bahwa seorang peserta didik adalah orang yang menghendaki ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan kepribadian yang baik untuk bekal hidupnya agar berbahagia di dunia dan akhirat dengan jalan belajar yang sungguh-sungguh.

Sedangkan al-tilmīdz tidak memiliki akar kata dan berarti pelajar. Kata ini digunakan untuk menunjuk kepada peserta didik yang belajar di madrasah. Sementara Al-thaalib berasal dari thalaba, yathlubu, thalaban, thaalibun, yang berarti orang yang mencari sesuatu. Hal ini menunjukkan bahwa peserta didik adalah orang yang mencari ilmu pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan dan pembentukan kepribadiannya untuk bekal masa depannya agar bahagia dunia dan akhirat.[14]

Dalam penggunaan ketiga istilah tsb biasanya dibedakan berdasar kan tingkatan peserta didik. Al-tilmīdz untuk sekolah dasar dan menengah, dan al-thālib untuk perguruan tinggi. Namun, menurut Abuddin Nata, istilah yang lebih umum untuk menyebut peserta didik adalah al-muta’allim. Istilah yang terakhir ini mencakup makna semua orang yang menuntut ilmu pada semua tingkatan, mulai dari tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi.



b. Karekteristik Murid
Selain tugas dan kewajiban di atas, peserta didik juga mesti memiliki sifat-sifat terpuji dalam kepribadiannya. Imam al-Ghazali, seperti yang dikutip oleh
Samsul Nizar, bahwa sifat-sifat ideal yang mesti dimiliki oleh setiap peserta didik
(murid) sekurang-kurangnya sbb : [15]
1) Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub Ilallah.
2) Mengurangi kecenderungan kehidupan duniawi dibanding ukhrawi.
3) Bersikap tawadhu’ (rendah hati).
4) Menjaga pikiran dari berbagai pertentangan dari khilafiyah.
5) Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik ilmu umum maupun agama.
6) Belajar secara bertahap, berjenjang, dari yang mudah kepada yg sukar
7) Mempelajari ilmu secara khusus dan tuntas, kemudian yang lain.
8) Memahami nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
9) Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
10) Mengenal nilai-nilai ilmu pengetahuan, yg bermanfaat, membahagia kan, mensejahterakan didunia akhirat untuk dirinya dan orang lain.


Peserta didik (Murid) dalam perspektif pendidikan Islam tidak hanya menuntut dan menguasai ilmu tertentu secara teoritis, akan tetapi lebih dari itu ia harus berupaya untuk mensucikan dirinya sehingga ilmu yang akan ia peroleh memberi manfaat baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu sangat diutamakan akhlak seorang peserta didik, dengan niyat semata-mata karena Allah, dan menharap Ridha-Nya.



C. KEHIDUPAN GURU DAN MURID DALAM PENDIDIKAN ISLAM

1. Kehidupan Guru dan Murid Priode Klasik (571 - 750 M)
Preode klasik dimaksud penulis disini ( memudahkan batasan) mencakup, sejak masa Nabi Muhammad Saw. di Mekkah & Madinah (571-632 M), masa Khulafaur Rasyidin (632-661 M), dan masa Dinasti Umaiyah (661-750 M).
Gambaran khusus tentang keadaan Kehidupan Guru dan Murid dalam Pendidikan Islam pada masa Rasulullah Muhammad Saw. tidak ditemukan secara rinci dan sistematis, karena pada masa tersebut semuanya berjalan secara alamiah dan semangat jihad sejalan dengan awal perkembangan Islam itu sendiri, bahkan pada aspek tertentui kondisinya sangat menantang.
Setelah Nabi Muhammad SAW menerima wahyu yang pertama dari Allah sebagi petunjuk atau intruksi kepada beliau untuk melaksanakan tugasnya pada saat beliau berusia 40 tahun yaitu pada tanggal 17 Ramadhan tahun 13 sebelum hijriyah (6 Agustus 610 M) wahyu yang diturunkan tersebut berbunyi:
Artinya : Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan Dia (Allah) telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaraan Qalam. Dia (Allah) mengajarkan manusia apa yang tidak diketahui.

Kemudian disusul dengan wahyu berikutnya yang berbunyi:
Artinya: hai orang-orang yang berselimut bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanlah dan perbuatan dosa tinggalkanlah dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.[16]

Ayat diatas secara ekplisit dan implicit menggambarkan factor-faktor pen didikan Islam , yaitu ; 1) Guru, 2) Murid, 3) Materi, 4) Alat, 5) Tujuan. Yang menjadi Pokok pembahasan dalam makalah ini adalah faktor Guru dan Murid.


Dalam QS. Al-‘Alaq: 1 kata yang berbunyi “ اقرأ “ artinya bacalah! Sebagai fa’il (yang memerintah), yaitu memerintah memebaca adalah Allah Swt melalui malaikat Jibril. sedangkan maf‘ulumbih (yang di perintah) untuk membaca adalah Nabi Muhammad Saw. Dengan demikian berarti, hakekat Guru dalam ayat tersebut adalah Allah Swt, sedangkan selaku Murid adalah Nabi Besar Muhammad Saw.

Kemudian didalam QS. Al-Muddatstsir: 2 pada kata “ فأنذر “ artinya berilah peringatan (ajari dan didiklah manusia). Disini juga berarti bahwa Allah Swt. adalah Guru (yang memerintahkan) sekaligus merekomendasikan tugas kepada Nabi Muhammad Saw (Sang Murid) untuk menjadi Seorang Guru yang dipercaya oleh Allah Swt. memberi peringatan dan pendidikan kepada umat manusia agar bertauhid dan mengabdi kepada-Nya.
Dengan demikian menurut penulis bahwa, Nabi Muhammad Saw adalah Guru yang pertama dan utama Dalam Pendidikan Islam seiring dengan lahirnya syariat Islam itu sendiri, dalam arti ( setelah keberadaan para Nabi dan Rasul Allah terdahulu). Nabi Muhammad Saw. adalah Uswatun Hasnah.
Di dalam buku berjudul Guruku Muhammad oleh Fu’ad Asy-Syalhub memaparkan Sifat-sifat Nabi Muhammad Saw. yang harus dimiliki dan dipelihara oleh seorang Guru, antara lain ; “Mengikhlaskan Ilmu kepada Allah, Kejujuran seorang Guru, Kesesuaian perkataan dengan perbuatan, adil berak
hlak mulia dan terpuji, tawadhu, berani, menyayangi para muridnya, sabar dan menahan amarah, menghindari ucapan kotor dan keji, meminta bantuan orang lain ( berinteraksi sosial ).”[17]

Setelah Allah Swt. merekomendasikan kepada Nabi Muhammad Saw. untuk memberi peringatan (sebagai Guru) berdasarkan momentum Ayat di atas, Ketika Rasulullah Saw. segera berdakwah melaksanakan perintah Allah Swt. untuk memberi peringatan (pendidikan) kepada manusia, maka yang pertama menjadi Murid beliau sebagai sasaran dakwah adalah para keluarga, orang-orang terdekat, para sahabat Beliau, dan umat manusia pada umumnya secara bertahap, preodik dan situasional (priode Mekkah dan Priode Madinah).


Masa Rasulullah Saw. di Mekkah (571-622 M). Pada permulaan Nabi Saw. Menyebarkan agama Islam di Mekkah, yang menjdi Murid utama beliau sebagai sasaran dakwah adalah kelompok “Assaabiquunal Awwalun, antara lain Siti Khadijah binti khuwailid, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah, Abu Bakkar Ash-Shiddiq, Ummu Aiman binti Salabah, Abd Amar, Abu Ubaidah bin Jarrah, Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqas, Thalhah bin Ubaidillah, dan lain-lain.”[18]

Turunnya wahyu pertama QS.Al-’Alaq: 1-5, menghendaki agar manusia harus melakukan proses pendidikan dan pembelajaran.. Instruksi Allah tersebut dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw dengan mengumpulkan para sahabatnya di rumah Arqam bin Al-Arqam sekaligus Beliau langsung bertindak sebagai medarris atau Guru. [19]

Ketika itu telah ada beberapa orang shahabat (Murid) beliau dari kaum Quraisy sendiri yang pandai tulis baca, 17 orang laki-laki, yaitu; Umar bin Khattab, Ali bin Abu Thalib, Utsman bin Affan, Abu Ubaidah bin Jarrah, Thalhah, Yazid bin Abu Sufyan, Abu Huzaifah bin ‘Utbah, Hathib bin Amr, Abu Salamah, Aban bin Sa’ad, Abdullah bin Sa’ad, Huwaithib bin Abdul ‘Uzza, Abu Sufyan bin Harb, Muawiyah bin Abu Sufyan, Juhaim bin As-shalt, Arqam bin Abi Al-Arqam.

Sedangkan kaum wanita ada 5 orang yang pandai tulis baca, yaitu; Hafsah isteri Nabi Saw, Ummi Kalsum bin Uqbah, ‘Aisyah bin sa’d, As-Syifaq binti Abdullah al-Adawiyah, dan Karimah binti al-Miqdad. Yang pandai membaca tetapi tidak pandai menulis adalah Siti ‘Aisyah, dan Ummi Salamah (keduanya adalah isteri Rasulullah Saw).[20]

Rasulullah sebelum hijrah ke Yasrib telah mempersiapkan kader-kader perempuan untuk menjadi Guru di Madinah (dikenal dengan Ba’atun Nisa’) di antara rombongan baiat tersebut terdapat perempuan bernama ’Afra binti ’Abid bin Sa’labah, inilah nantinya yang akan menyebarkan pengetahuan yang telah didapat dari Nabi Muhammad Saw. kepada masyarakat Madinah.[21]

Masa Rasulullah Saw. di Madinah (622-632 M). Setelah Nabi Saw. hijrah ke Madinah, beberapa orang yang pandai tulus baca, bahkan ada orang Yahudi yang mengajarkan tulis baca kepada anak-anak. Saat itu juga ada 11 orang yang pandai tulis baca, diantaranya Sa’ad bin ‘Ubadah, Usaid bin Hudair, dan Abdullah bin Ubaiya. Tetapi secara khusus yang disuruh Nabi menuliskan ayat-ayat Al-Quran yang diwahyukan Allah pada permulaah Nabi tiba di Madinah, ialah Ubaiya bin Ka’b Al-Anshari, kemudian Zaid bin Tsabit Al-Anshari, mereka inilah yang menuliskan wahyu di hadapan Nabi Saw. juga menuliskan surat-surat kiriman Nabi kepada Raja-Raja saat itu.

Selain Ubaiya dan Zaid, juga yang menjadi juru tulis Nabi Saw. adalah Abdullah bin sa’ad bin Abu Sarh (kemudian ia menjadi murtad), Utsman bin Affan, Syurahbil bin Hasanah, Aban bin Sa’id, Khalid bin Sa’id, Al-“Alak bin Al-Hadrami, Muawiyah bin Abu Sufyan, dan Hanzalah bin Ar-Rabi’.

Adapun Ulama-Ulama Shahabat yang termasyhur menjdai Guru pada masa Nabi ialah; Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit, ‘Aisyah, Muaz bin Jabal, Abu Darda’, Abdullah bin Salam, dan Salman al-Farisi.[22] Pada masa ini keadaan kehidupan para guru dan murid belum dikenal secara sistemik tentang penggajian Guru dan bayaran Murid.




Masa Khulafaur Rasyidin (632-661 M). Setelah Rasulullah Wafat, maka kepemimpinan Beliau dilanjutkan oleh para Shahabat Beliau yang dikenal Khulafaur Rasyidin, yaitu; Abu Bakkar As-Shiddiq (632-634 M), Umar ibnu Khattab (634-644 M), Utsman bin Affan (644-656 M), dan Ali bin Abi Thalib (656-661 M). Mereka iniulah sekaligus mengganti Rasulullah Saw. sebagi Guru panutan terhadap umat Islam saat itu. Sebagai gambaran singkat bahwa; keadaan pendidikan pada masa Khulafaur Rasyidin sebagai berikut;
Di Mekkah, Guru pertama adalah Muaz bin Jabal yang mengajarkan Al-Quran dan fiqih.
Di Madinah, Guru yang terkenal adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, ali bin Abi Thalib dan sahabat lainnya.
Di Bashrah, Guru yang termasyhur antara lain; abu Musa Al-Asya’ari, beliau ahli fiqih dan al-Quran.
Di Kufah, Guru yang termasyhur adalah Abdullah bin Mas’ud, beliau mengajarkan Al-Quran, tafsir,, hadits, dan fiqih.
Di Syam (Dansyik), setelah Syam menjadi Syiria, khalifah Umar bin Khattab mengirim 3 orang Guru, yaitu; Abu Darda’ di Damsyik, Muaz bin Jabal di Palestina, dan Ubaidah di Hims.
Di Mesir, Sahabat yang mula-mula mendirikan Madrasah dan menjadi Guru adalah Abdullah bin Amru bin Ash, beliau ahli Hadits. [23]


“Pada masa Khalifah Abu Bakkar As-Shiddiq pada dasarnya tidak jauh berbrda pendidikan dengan masa Rasulullah Saw. Namun sejak Khalifah Umar bin Khattab pendidikan lebih mneingkat, yakni Guru sudah diangkat dan di gaji untuk mengajar di daerah-daerah yang baru ditaklukkan. Pada masa Utsman bin Affan pendidikan diserahkan kepada rakyat dan shahabat (untuk mengangkat guru) kemudian menyebar keberbagai daerah untuk mengajar. Sedangkan pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, pendidikan kurang mendapat perhatian karena konflik polik yang selalu terjadi.”[24]
Pendidik atau Guru Era Nabi dan Sahabat bukan merupakan profesi atau pekerjaan untuk menghasilkan uang atau sesuatu yang dibutuhkan untuk kehidupannya, melainkan mengajar karena panggilan agama, untuk mendekatkan diri kepada Allah, mengharapkan keridhaan-Nya, menghidupkan agama, mengembangkan seruan-Nya, dan menggantikan peranan Rasulullah Saw. dalam memperbaiki umat. [25]



Masa Dinasti Umaiyah (661-758 M). Pola pendidikan pada masa Dinasti Umaiyah nampaknya ada berbedaan dari pola pendidikan masa Rasulullah Saw dan Khulafaur Rasyidin, karena pada priode ini berbagai kemajuan telah diperoleh termasuk bidang perekonomian. Keadaan kehidupan Guru saat itu sebagian mereka mulai mendapat perhatian, karena diantara penguasa (pemerintah) membayar atau menggaji Guru untuk mengajar puteranya, bahkan juga disediakan tempat mukim di dalam Istaana. Tetap bagi Guru yang meng ajar Murid yang berlatar belakang ekonomi lemah, tempatnya di pekara ngan Masjid, mereka tidak bigaji seperti Guru yang mengajar anak penguasa di Istana, melainkan hanya menda pat penghargaan dari masyarakat.[26]
Tegasnya bahwa keadaan pendidikan Islam pada masa Dinasti Umaiyah ini mulai berkembang, meskipun Pola pendidikan saat itu masih system Kuttab yang berpusat pada masjid, istana, serta rumah-rumah Guru. Disisi lain bahwa peradaban Islam terutama Bahasa Arab telah mamapu Go Internasional sebagai bahasa resmi negara terutama di Benua Eropa, Afrika, dan Asia.


Gambaran umum kehidupan Guru dan Murid pada masa Priode Klasik (571-750 M) menurut Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam, yang menjadi Bahasan utama beliau Kehidupan Guru dan Murid Priode Klasik meliputi; Kompetensi mengajar Guru, Peranan Guru dalam Kehidupan Masyarakat, Organisasi Guru pada , Kehidupan para Siswa dalam hal karakteristik Murid dan Mahasiswa, biaya dan lama belajar Murid dan Mahasiswa, keadaan Murid dan Mahasiswa sebagai berikut :



1. Kehidupan Guru Pada Masa Klasik [27]
Secara umum menurut Abuddin Nata bahwa, keadaan kehidupan Guru pada masa klasik seperti; Status Sosial Guru sangat ditentukan oleh kualitas keilmuan dan keperibadian masing-masing. Guru (yang berstatus Muallim Kuttab) yang berkompetensi baik, maka maka ia dihormati, disegani, bahkan diberi penghargaan yang tinggi dan luar biasa dari masyarakat. Guru yang pemarah dan tidak bertanggung jawab ia dicemooh dan kurang mendapat simpati dari masyarakat. Demikian pula Guru (yang berstatus muaddib) yang mengajar di Masjid, mereka mendapat pengakuan dari masyarakat.
Disegi Peranan Guru pada masa klasik, mereka mempunyai andil yang besar dalam memajukan peradaban bangsa saat itu. Sebagai murabbi ia bertang gung jawab dalam mendidik, membimbing murid secara serius, sehingga semua potensi yang dimiliki murid dapat berkembang secara maksimal. Disamping itu, keberadaan Guru Sebagai Penggerak Masyarakat, memberikan pelayanan kepada mereka, menyadarkan mereka, membangkitkan mereka dari keterting galan, sehingga mereka menjadi kaum yang berbudi luhur dan berperadaban.



2. Kehidupan Murid Pada Masa Klasik [28]
Secara psikologis usia murid yang belajar saat itu sangat bervariasi, karena tidak adanya ketentuan tegas yang mengatur itu, terutama yang masuk kuttab.
Secara finansial murid juga tidak semuanya dibebani biaya pelajaran, seperti murid yang belajar di kuttab keluarganya miskin, mereka dapat belajar gratis.
Murid di kuttab lebih banyak bergaul dan berkomunikasi dengan Guru dan sesama mereka, karena waktu belajar mereka cukup lama, sejak pagi hingga selesai sholat Ashar. Dalam tempo itu, guru memungkinkan membina para murid dengan baik. Murid yang cerdas akan dapat menyeelesaikan pendidikan relatif cepat, kemudian meneruskan pendidikan di khalaqah masjid Jami’ atau madrasah hingga hafal Al-Quran sebagai ukuran kelulusan seorang murid.
Menurut Abuddin Nata bahwa, keadaan murid pada jenjang Mahasiswa dibagi beberapa tingkat, yaitu ; mubtadi, mutawassit, dan muntahi. Khusus tingkat Muntahi dibagi lagi atas mutafaqqih dan faqih. Mahasiswa yang menye lesaikan kesarjanaannya diberi kesempatan untuk memperdalam pelajaran ter tentu yang diminati. Mereka memerlukan waktu bervariasi untuk menyelesaikan studinya dibawah asuhan seorang atau beberapa orang Guru Besar.
Adapun masalah biaya pendidikan pada dasasrnya mereka mendapat bantuan berbeda-beda, yaitu ; ada yang mendapat beasiswa, ada yang hanya dapat fasilitas asrama, Bagi mahasiswa madrasah mendapat beasiswa dan fasili tas asrama, mahasiswa di halaqah masjid Jami’ hanya mendapat fasilitas asrama, namun tidak dipungut bayaran. Sebagian mereka juga sistem Cost di rumah Guru (Syaikh), tetapi bayar sesui dengan kesepakatan mereka.



2. Kehidupan Guru dan Murid Priode Pertengahan (750-1258 M) Batasan Priode Pertengahan dimaksud penulis disini yaitu pada masa Pemerintah Daulah Abbasiyah (750-1258)
Masa Khalifah Abbasiyah (fatimiyah, Ayyubiyah, Mamalik, dan Usma niyah) menjamin kehidupan para penuntut ilmu Murid dan Guru-guru, agar mereka hidup tentram dalam berbakti kepada ilmu. Begitu juga Sultan-sultan, menteri-menteri, amir, pedagang , ulama, hakim, juga wani ta – wanita terkemu ka mengikuti jejak para khalifah. [29] Semangat tersebut berawal ketika Khalifah Al-Makmun (818-833 M) Ia khalifah ke-7 Bani Abbasiyah yang sangan cinta terhadap Ilmu Pengathuan setelah Khalifah Harun al-Rasyid.[30]
Sejarah Islam mencapai puncak kejayaannya adalah pada masa Bani Abbasiyah, dan Umaiyah Spanyol, karena para pakar pendidik pada masi itu. Bukti keberhasilannya dalam berbagai bidang merupakan cikal bakal lahirnya pencerahan di dunia Eropa. Hingga Abbasiyah mengalami kemunduran, Masalah pendidikan selalu menjadi perhatian khalifah dan orang-orang kaya, seperti menyediakan sarana dan prasaran pendidikan terutama perpustakaan, gedung madrasah, dan membantu para siswa (murid) untuk beiaya pendidikan secara gratis, yang pada akhirnya didirikan Madrasah Nizamiyah (457-459H-1065-1069M) oleh Nizham al-Muluk pada masa Malik Sah khalifah Bani Abbasiyah dari dinasti Turki Saljuk, di Baqdad. Saat itu para pelajar (murid) yang tinggal diasrama diberi belanja secukupnya dari uang negara yang tidak sedikit. Saat itu para siswa sangat setia dan mendukung
Khalifah dengan bersma mengembangankan mazhab Ahlusunnah (Sunni). [31]

Perkembangan pendidikan Islam di Spanyol (711-1492 M). Faktor pendukungnya; 1) dukungan penguasa yang cinta ilmu pengetahuan dan berwa wasan kedepan. 2) Banyaknya berdiri sekolah dan PT dibeberapa kota Spanyol (Cordova, Sevilla, Malaga, dan Granada). 3) Banyaknya para sarjana Muslim dari berbagai penjuru wilayah islam dengan membawa berbagai buku dan wa wasan demi perkembangan budaya Islam. 4)Adanya persaingan positif Abba siyah Bagdad dengan Umaiyah Spanyol dibidang Ilmu pengetahuan dan pera daban (Univ. Nizamiyah di Bagdad – Cordova di Spanyol) 5) pemerintah men subsidi pendidikan dengan murahnya buku-buku bacaan, adanya insentif dengn emas terhadap para penulis dan penerjemah buku, dan subsidi makanan pokok.


Perkembangan pendidikan Islam di Andalusia dan Sisilia (827-1194 M). Faktor pendukungnya ; 1) Para penguasa muslim adalah orang pencinta ilmu pengetahuan berwawasan luas. Mereka mengirim siswa-siswa berbakat untuk untukl belajar di Universitas2 terkemuka di dunia Islam. 2) Menggaji para dosen, guru, peneliti, penulis, dan ilmuwan. 3) Membebaskan para dosen, peneliti, penulis, ilmuwan dari dari wajib militer. 4)Migrasi para ilmuwan, peneliti, dosen dan guru dari berbagai penjuru dunia Islam kesisilia, karena tertarik dengan tunjangan gaji yang memadai. [32]

Di Madrasah Nizamiyah mempunyai manajemen modern yang bagus, sistem pendanaan, Guru-Guru di gaji selama masa jabatannya, perpustakaan lengkap, asrama, dan makanan untuk siswa, biaya sekolah gratis, dan kurikulum ditetapkan oleh pemerintah Bagdad. Guru-Guru yang terkenal di Madrasah Nizamiyah a.l: Abu Ishak Al-Syirazi (w.476H-1083M), Abu Nashr Al-Shabbagh (w.477H-1084M), Abu Qashim Al-A’lawi (w.482H-1089M),Abu Abdullah Al-Thabari (w.495H-1101M), Abu Hamid Al-Ghazali (w.505H-1111M), Radliyud Din al-Qazwaini (w.575H-1179M), Al-Firuzabadi (w.817H-1414M)
Kehidupan Murid dan mahasiswa pada masa Al-Ma’mun dirtandai dengan integrasi dimensi ilmiah dan rohaniah. Kemajuan intelektual didorong oleh kehidupan yang tekun, kritis, kreatif, dan imajinatif. Adapun kepopuleran seorang tokoh disebabkan oleh karya nyata dan jasa para murid berikutnya yang mencintai karya-karya sang Guru. Kondisi itu sampai sekarang masih ada yang berjalan terus. Seperti model pembelajaran halaqah masih ada di pedesaan, yang putus seperti Guru tidak lagi membuat diktat sendiri. Semangat menuntut Ilmu keluar negeri masih terus berjalan, namun sangat terbatas dan memalui seleksi, dan sekarang cukup mahal jika atas biaya sendiri. [33]

Kehudpan Guru dan Murid pada masa Khalifah al-Ma’mun (813-833 M) adalah Guru memiliki kebebasan memilih materi bagi Murid-muridnya dalam proses balajar mengajar, dan tercipta hubungan hamrmonis guru dengan murid dan toleransi sehingga mempercepat berkembangnya ilmu pengetahuan, kemudian lahirnya Imam-imam Mazhab seperti Muhammad ibnu Idris Asy-Syafi’i (767-820 M), dan Ibnu Hambal (780-955 M). Demikian pula dalam rekrutmen Murid dengan bebas, terbuka, kesetaraan dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi kepada Murid yang tidak mampu dan yatim piatu serta beasiswa di para dermawan, para ulama, dan penguasa kepada mereka. Dengan demikian berdampak positif terhadap pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban. [34]

Masa Al-Ma’mun, beberapa Murid/Mahasiswa yang produkti antara lain: Jabir Ibnu Hayyan (721-815) ahli Kimia, Abu Nawas (747-815) ahli Syair, Imam syafi’i (767-820) ahli Fiqh, Muhammad Ibnu Umar Al-Waqidi (748-823) ahli sejarah, fiqh, dan hadits. Ibnu Hisyam (w. 834)ahli sejarah. Al-Nazzam (801-835) ahli Teologi, Ahmad bin Hambal (780-855) ahli fiqh, Ibnu Sa’id (w. 834) ahli sejarah, muhammad Ibnu Sa’id (784-845) Sejarah, Hjadits. Al-Khawarizmi (780-847) Astronomi, Abu Al-Huzail Al’Allaf (752-849) Teologi Mu’tazilah, Ishaq Al-Mawshili (767-850) ahli syair, penyanyi. Al-Jahizh (776-869) Sastra. Imam Bukhari (810-870) ahli Hadits, Hunayn Ibnu Ishaq (809-873) ahli fisika dan kedokteran. [35]
Sedangkan Tokoh pendidik (Guru) pada masa Al-Ma’mun, antara lain; Abdul Abbas Abdullah Al-Ma’mun (783-833M), Muhammad Ibnu Musa Al-Hawarizmi (780-850 M), Al-Kindi (809-866 M). [36]
Dengan demikian bahwa peserta didik (Murid) pada zaman keemasan Islam telah mendapatkan pelayanan dan perhatian yang sungguh-sungguh dari ulama, hartawan dan penguasa. Para Ulama (Guru) memberi keleluasaan dalam belajar. Mereka menganggap mengajar hanyalah kewajiban setiap Muslim. Mereka tidak menuntu adanya gaji yang harus diterima. Murid harus datang ke lembaga pendidikan atas keinginan sendiri meskipun itu atas biaya pemerintah atau badan waqaf. Murid juga boleh memilih tinggal di lingkungan lembaga pendidikan atau kembali ke rumah mamsing-masing. Murid tidak diperkenankan membedakan tingkat sosial dalam prodses pendidikan. Mereka harus berkumpul dalam tempat yang sama dan memperoleh pendidikan yang sama pula.


3. Kehidupan Guru dan Murid Priode Modern (1250M -Sekarang)


Pembaharuan Pendidikan Islam di Eropa bermula ketika Dinasti Turki Usmani (1299-1924M) oleh Usman bin Ortogal, yaitu ketika Sultan Alauddin II berkuasa. Begitu pula di Afrika. Pembaharuan Pendidikan Islam di Mesir oleh Muhammad Abduh (1848-1905M). Ia belajar dari Thanta kemudian ke al-Azhar, Dar Al-Ulum, dan ke Khedevi, Beliau Murid Jamaluddin Al-Afghani.
Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan implikasinya dalam Pendidikan di dunia modern oleh Ismail Raji Al-Faruqi (lahir di Jaffa Palestina, 1921 alumni The American Universcity, Ia Guru besar Sejarah agama-Agama Islam di beberpa Negara, Syekh Muhammad Naquib Al-Attas, Abdul Hamid abu sulaiman, Sayed Husein Nasr, Fazlurrahman, dan Zainuddin Sardar. Implikasinya pada aspek Pendidik (Guru) adalah ditempatkan pada posisi yang selayaknya, artinya kompetensi dan profesionalitas yang mereka miliki dihargai sebagaimana mestinya. Menurut Al-Faruqi, tidak selayaknya para pendidik (Guru) mengajar dengan perinsip keikhlasan, tetapi pendidik harus diberikan honorarium sesuai dengan keahliannya. Aplagi bagi Guru (dosen) tamu, ia harus dihargai lebih tinggi dari Guru sendiri. [37]
Pendidik atau Guru di Era Modern . Pendidik diera (modrn) ini tidak banyak lagi yang mempersepsikan dirinya sebagai pengemban amanat yang suci dan mulia, mengembangkan nilai-nilai multi potensi anak didik (murid), tetapi mempersepsikan dirinya sebagai seorang petugas semata yang mendapatkan gaji baik dari negara, maupun organisasi swasta dan mempunyai tanggung jawab tertentu yang harus dilaksanakan.. Bahkan terkadang timbul muncul sifat egoisme ketia Guru akan melaksanakan tugasnya termotivasi oleh sifat materialis dan pragmatis yang tidak lagi dilandasi oleh rasa keikhlasan panggilan mengembangkan fitrahnya dan fitrah muridnya.... Dan sebagai dampaknya, terbukti dari produktivitas pendidikan banyak melahirkan siswa (murid) dan sarjana cerdas dan trampil, tetapi juga masih banyak yang tawuran, perkelahian, pemerkosaan, sarjana berdasi yang korupsi, menindas, mencuri hak rakyat, meskipun tidak semuanya demikian. [38]

Di sisi lain, salah satu dampak kehidupan sosial Guru dan Murid, terlihat dan terasa komitmen Murid terhadap Guru sekarang memudar, bahkan tidak jelas lagi, (tidak seperti masa Al-Ma’mun), bahwa siapa sebenarnya yang menjadi Guru si Fulan. Kkebanyakannya murid / mahasiswa sekarang hanya merasa dia telah lulus dari sekolah Anu, bukan merasa telah menguasai suatu Ilmu dari Guru / dosen tertentu. Dengan demikian untuk membangun kembali citra kehidupan sosial , hubungan Islamiyah dan tradisi keilmuan perlu dilakukan harmonisasi secara sinergi antara Guru/Dosen , Murid/Mahasiswa, dan lingkungan hidup dengan mengurangi motivasi material dalam melaksanakan tugas kependidikan dalam Islam.


D. PENUTUP / KESIMPULAN
Keadaan Kehidupan Guru dan Murid dalam arti karakter, semangat kerja, frofesionalisme, finansial, jaminan kehidupan, baik secara moril maupun material, sejak masa Kepemimpinan Rasulullah dengan para Sahabat sungguh suasana kehidupan yang sangat sederhana dan bersahaja, yang terpenting menjunjung perintah Allah dengan semangat jihad dan bimardhatillah. Demikian pula kehidupan Murid ( Sahabat dan umat ) saat itu, hingga pada masa Khulafaur Rasyidin, kehidupan mereka dalam mengajar dan belajar menuntut ilmu juga benar-benar karena menjungjung perintah Allah, hingga akhir Priode klasik ( ber akhirnya daulah Umaiyah sekitar 750 M).
Pada zaman keemasan Islam masa Khalifah Abbasiyah, aspek pendidikan semakin mendapat prerhatian dari penguasa dan berbagai pihak. Kehidupan Guru dan Murid semakin mendapat perhatian baik finansial material, maupun jaminan sosial . Meski demikian, Guru dan Murid tetap mereka menganggap bahwa belajar mengajar hanyalah kewajiban setiap Muslim. Tetapi Penguasa ketika itu telah memperhatikan dan mengakomodirnya.
Diera modern ini, keadaan kehidupan Guru dan Murid mengalami perubahan dalam arti relatif. Pada tataran material dan finasial bagi Guru telah diatus secara khusus oleh negara, sementara pihak Murid masih ada terbebani dengan berbagai dalih biaya ini dan biaya itu. Tetapi yang jelas tidak banyak lagi yang mempersepsikan dirinya sebagai pengemban amanat yang suci dan mulia, bahkan terkadang timbul sifat egoisme sebagian Guru ketika akan melaksanakan tugasnya termotivasi oleh sifat materialis dan pragmatis yang tidak lagi dilandasi oleh rasa keikhlasan.
Disatu sisi kehidupan sosial Guru dan Murid di era modern ini, terlihat dan terasa memudar, tidak lagi menjadi suatu yang berharga bahwa si A adalah Guru si B, dan Si C adalah murid Si D. Yang terasa hanya Alumni almamater A dan almamater B, memperoleh gelar A dan gelar B. Kondisi modern ini diharapkan segera terhapus dan kembali Pencitraan kehidupan Guru dan Murid seperti masa kejayaan Imam Mazhab dan Cedekiawan Muslim. Allahu a’lam Bishshawaab.


DAFTAR SUMBER BACAAN


Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, 2007

Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004

Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004

Badri Rasyidi, Sejarah Peradaban Islam, CV.Armico, Bandung, 1987

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006

Dedi Wahyudi, Analisis Filosofis Pendidik dan Peserta Didiki Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam Menurut Ramayulis, podoluhur.blogspot. comanalisis-filosofis-pendidik (Kamis, 2009 Mei 21)

Fu’ad Asy Syalhub, Guruka Muhammad Saw, Gema Insani, Jakarta, 2006.

Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, Pustaka Al-Husna Baru, Jakarta, 3003.

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, PT. Hidakarya Agung, Jakarta, 1979.

Muhammad ‘Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1977

Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2007

Suwito, MA., Fauzan, MA., Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Prenada Media, Jakarta, 2005.

Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam Jilid , PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, Yakarta, 2001.

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia Ed.II, Balai Pustaka, Jakarta, 1995,

Tim Penyusun, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid , PT. Ikhtiar Baru, Jakarta, 2005

[1] Suwito, MA., Fauzan, MA., Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Prenada Media, Jakarta, 2005. hl. 20

[2] Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia Ed.II, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hlm. 350

[3] I b i d , hlm. 330

[4] Muhammad ‘Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1977, h 131.

[5] Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) pasal 1 ayat (6):
[6] Dedi Wahyudi, Analisis Filosofis Pendidik dan Peserta Didiki Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam Menurut Ramayulis, podoluhur.blogspot. comanalisis-filosofis-pendidik (Kamis, 2009 Mei 21)

[7] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hl. 142

[8] Suwito, MA., Fauzan, MA., Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Prenada Media, Jakarta, 2005. hl.6-7

[9] Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia Ed.II, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hlm. 675

[10] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hl. 130

[11] Suwito, MA., Fauzan, MA., Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Prenada Media, Jakarta, 2005. Hlm. 54.
[12] I b i d , hlm. 129
[13] Dedi Wahyudi, Analisis Filosofis Pendidik dan Peserta Didiki Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam Menurut Ramayulis, podoluhur.blogspot. comanalisis-filosofis-pendidik (Kamis, 2009 Mei 21)

[14] Dedi Wahyudi, Analisis Filosofis Pendidik dan Peserta Didiki Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam Menurut Ramayulis, podoluhur.blogspot. comanalisis-filosofis-pendidik (Kamis, 2009 Mei 21)

[15] Dedi Wahyudi, Analisis Filosofis Pendidik dan Peserta Didiki Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam Menurut Ramayulis, podoluhur.blogspot. comanalisis-filosofis-pendidik (Kamis, 2009 Mei 21)

[16] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, Jakarta


17 Fu’ad Asy Syalhub, Guruka Muhammad Saw, Gema Insani, Jakarta, 2006. hl.7-42

[18] Tim Penyusun, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid I, PT. Ikhtiar Baru, Jakarta, 2005 hl. 94-95.

[19] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2007 hlm. 123

[20] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, PT. Hidakarya Agung, Jakarta, 1979. hl. 20.

[21] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2007 hlm. 214
[22] I b i d , hlm. 21-31.
[23] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2007, hl. 51.

[24] Loc cit.
[25] Suwito, MA., Fauzan, MA., Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Prenada Media, Jakarta, 2005.

[26] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2007, hl. 3

[27] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 153-154.

[28] I b i d , hlm. 139-140.
[29] Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, Pustaka Al-Husna Baru, Jakarta, 2003. hlm. 112

[30] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2007, hl. 71
[31] I b i d , 158-160
[32] I b i d , hlm. 101-105.
[33] Suwito, MA., Fauzan, MA., Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Prenada Media, Jakarta, 2005. h. 74

[34] I b i d , hlm 32
[35] I b i d , hlm. 75
[36] I b i d , hlm. 32-33
[37] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2007, hl. 239 – 273.
[38] Suwito, MA., Fauzan, MA., Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Prenada Media, Jakarta, 2005. h. 4-5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar